Bab 6

280 43 9
                                    

Baru saja memasuki kafe, suara bel pintu membuyarkan aktivitas mereka. Pemilik kafe serta Gani yang
sibuk mengobrol. Amara yang menjadi sorotan pandangan langsung membuatnya kelalapan, takut saja jika di pandang oleh pemilik kafe, pasalnya jarang sekali sang pemilik datang, biasanya hanya 6 bulan sekali itu pun jika dirinya sempat datang karena dirinya mempunyai cabang di mana-mana.

Waktu yang tepat! Ada Radit yang juga datang.

Lengan Bu Hariyani melambai, "Sini, duduk." Amara dan yang lain mengangguk bersamaan. Wajah mereka menegang karena berhadapan langsung dengan pemilik kafe bukan managernya.

Gani menampik senyum ramahnya, Radit yang baru sadar ada CEO yang terkenal akan ramah tamahnya itu segera ia menjabatkan tangannya lalu memperkenalkan diri, "Radit, jangan pernah lupa ini, Radit." Tanpa menunggu lama Gani membalas jabatan tangan Radit, ia hanya mengangguk dan tak pudar dengan senyumnya.

Bu Hariyani menatap pada Amara juga Radit, di pandang seperti itu membuat nyali Radit menciut sehingga membuatnya ikut menunduk bersama Amara.

Di balik tatapan memandang sepatunya, Radit berbisik pada Amara yang hanya membeku. "Sinta kemana?" bisiknya pada Amara.

Amara hanya mengangkat bahu tak tahu, ia hanya memikirkan dirinya yang sangat takut bila di pecat. Sebab pekerjaan inilah sumber uangnya sejak SMA.

"Sinta sudah saya pecat, apa di antara kalian ada yang mau saya pecat juga? Termasuk kamu Radit," tunjuk Bu Hariyani amat tegas pada Radit.

Kepala Radit langsung mendongak, kaget. "Ha? Ya-ya jangan dong Bu," gugupnya.

Gani hanya diam saja ia cukup menyimak tindakan dari Bu Hariyani.

"Kalau begitu, saya masih beri peringatan, jika tak sanggup keluar dan jika masih sanggup jangan beri kabar alasan tak masuk. Saya tak mau pegawai di sini merusak kafe yang sudah saya buat, tolong hargai itu."

Kepala Radit bergerak merespon ucapan Bu Hariyani. Radit mengerti maksud yang di ucapkan bosnya itu. Dirinya sering tak masuk kerja karena tugas kuliah yang menumpuk, di tambah dirinya harus kesana-kemari mencari kosan yang murah. Al hasil dirinya lelah sendiri.

"Amara, bagaimana dengan kamu?" Kini Bu Hariyani melempar pertanyaan pada Amara.

Amara menatap Bu Hariyani penuh takut, siap tak siap dirinya harus terima. Mulut Amara terasa kaku dan tangannya sudah mendingin karena menahan getaran. "A-Amara masih mau bekerja di sini. Amara akan berusaha menyeimbangkan waktu untuk belajar dan bekerja," ujarnya penuh susah payah.

Wajah Bu Hariyani berubah, mukanya mulai tenang bahkan ia memberi sedikit tawa atas apa yang di katakan oleh Amara.

"Ah, masa saya harus memecat pekerja keras sepertimu. Intinya kalau kamu, Radit, mau mendapat bonus seperti Amara maka contohlah Amara."

Bonus? Amara bingung maksud kata itu, entah apa yang di maksud bonus oleh Bu Hariyani. Jarang sekali kata itu terlintas dari mulutnya.

"Bonus apa, ya, Bu?" bingung Amara yang malah membuat Radit kesal.

"Lo dapet uang lebih, Ra," solot Radit gemas dengan pertanyaan bodoh Amara.

"Lho, bukannya gajiannya minggu depan, ya?" tanya Amara masih bingung.

"Double. Saya sudah transfer lewat rekening kami. Sekarang saya pergi dulu, jangan jadi pegawai yang nakal," pamit Bu Hariyani akhirnya.

Amara dan yang lain berdiri termasuk Gani, mereka menghormati kepergian Bu Hariyani itu. Hanya saja Radit berbeda, dirinya malah memberi hormat pada Bu Hariyani, "Siap laksakan. Bu kapan Radit bisa dapet double gaji?" tanya Radit tak tahu malu.

Sejuta Lara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang