Bab 37

115 13 0
                                    

Amara menghapus air matanya, lalu bangkit dari tempat duduknya. Suara langkah dari seseorang mampu terdengar, suara khas sepatu pentopel yang cukup banyak suaranya. Pintu terbuka, Gani datang begitu saja dan mengucap salam kala melihat Amara berada di sana. Tubuh Gani masih diambang pintu, tangannya terlihat bergerak memberi kode agar para anak buahnya segera pergi. Niat Gani yang sebenarnya ia urungkan. Sial, terlalu lama jika masih membiarkan Latifah hidup.

Amara hanya menatap bayang hitam di kaca yang tertutup oleh tirai berwarna krem.

"Mau ngapain ke sini?" ketus Amara memalingkan pandangan menatap pada Latifah.

Gani mulai berdiri tegak dan masih segan untuk masuk ke dalam. "Jenguk Latifah. Saya juga dapat kabar kalau Latifah udah mulai memulih," elak Gani menyembunyikan niat sebenarnya.

"Silakan duduk." Amara mempersilahkan Gani untuk duduk, walaupun dirinya sedikit ragu dengan itu.

Amara membuka ponselnya untuk mengirim pesan pada Radit agar bisa datang ke rumah sakit, mungkin bila ada Radit suasanya jauh lebih nyaman dan tidak setegang saat ini.

"Kamu lagi libur, Ra?" tanya Gani mencoba membuka topik.

"Baru pulang."

Rasanya malas sekali Amara membuka komunikasi dengan siapapun, terlebih dengan Gani. Amara heran entah apa hubungannya dengan Mami yang begitu erat hingga Gani dijadikan model jas pengantin. Memang cocok, hanya saja mengapa harus Gani dari ribuan model di dunia ini.

Pesan Amara telah dibalas. Radit menolak sebab kafe sedang ramai saat sini. Amara bingung harus bagaimana, akhirnya ia memberi tahu ketidaknyamanannya dengan kedatangan Gani kepada Radit. Beberapa menit kemudian barulah Radit mengiyakannya. Amara menghembus nafas, bersyukur sekali Radit bisa datang.

Kala adzan berkumandang, Amara izin pamit untuk pergi menuju musholla. Mau tak mau Gani juga ikut pergi, jika tidak semakin sempit ruangnya untuk tujuan selanjutnya. Beberapa menit melaksanakan sholat, Gani pergi menuju parkiran sedang Amara pergi begitu saja tanpa memperdulikan Gani. Gani berlari dan menyusul Amara lalu ia sempat membuka obrolan lagi, Amara tetap membalas seadanya.

"Om kamu kembaran sama Ayah kamu? Saya lihat dari foto di rumah kamu. Tante Sri yang kasih lihat." Pancingan pertama untuk mengulik tujuannya.

Hanya anggukan yang Amara berikan. Amara membuka pintu lalu kembali duduk. "Memang ada apa sama Om Amara?"

"Kenapa kamu gak tinggal bareng Om kamu aja? Bukannya kelihatan Om kamu jauh lebih baik, bahkan dari segi ekonominya pun baik. Jauh lebih bahagia kalau kamu tinggal di sana dulu." Bahagia sebab langsung tak ada di dunia?

"Om Bagus selalu pindah-pindah, Amara sama almarhum Rehan gak bisa kalau sekolahnya terus pindah-pindah, dan Om Bagus sama istrinya orang yang sibuk dari dulu," jelas Amara, membuatnya juga tak mengerti mengapa omnya itu selalu berpindah tempat tinggal. Lebih jelasnya apartemen, mungkin masalah pekerjaan yang perlu dikerjakan.

Gani masih berusaha mengulik informasi lagi. "Terakhir yang kamu tau, Om kamu itu tinggal di mana? Mungkin Pak Mario bisa wawancara Om kamu buat mempercepat penyelesaian kasus ini."

"Pak Gani curiga sama...."

"Enggak gitu, Ra. Saya cuman bermaksud Om kamu mungkin bisa bantu."

Seseorang datang mengetuk pintu dan mengatakan akan mengantarkan makanan. "Biar saya aja," ucap Gani sebelum Amara menghampiri orang yang mengantarkan makanan itu. Amara tak dapat melihat siapa orang yang mengantar makanan tersebut, tubuhnya terhalang oleh pintu.

Gani menenteng makanan pesanannya. "Saya yakin kamu pasti belum makan, nih makan dulu." Gani memberikan makanan tersebut pada Amara.

"Buat Pak Gani aja." Amara memang merasa lapar tetapi ia juga malu menerima pemberian dari Gani yang sudah jelas banyak hal yang Amara lakukan demi menjauhkan diri darinya.

Sejuta Lara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang