Bab 38

119 14 0
                                    

Napas Latifah begitu menderu, jantungnya berdebar sangat cepat. Amara mulai panik dan segera menekan tombol di dekat ranjang Latifah untuk mempercepat agar dokter segera datang. Amara menekannya dengan terburu-buru, entah apa yang terjadi pada Latifah.

"Tolong-jangan bawa dia," lirih Latifah di sela dirinya sedang mengatur napas.

Amara menangis hingga tak menyadari bahwa Latifah berbicara, ia tetap berusaha untuk menekan tombolnya.

Dokter datang bersama suster. Sang dokter meminta Amara untuk keluar terlebih dahulu. Sembari menunggu di luar Amara masih menangis dan terus berdoa berharap yang terbaik untuk Latifah. Tubuh Amara terasa lemas, tubuhnya segera merosot ke tanah. Kaki Amara menekuk dengan kepala menunduk.

"Sus, ini pasien udah siuman dari kapan?" tanya sang dokter yang memang baru menangani Latifah.

"Pasien koma udah cukup lama, dok. Hampir masuk 3 minggu. Terakhir saya cek pasien belum siuman."

"Tunggu dia pulih, biar saya yang nanti bicara sama pasien," tutur sang dokter.

Amara kembali dipersilahkan masuk, dokter membuka obrolan bersama Amara. "Kamu tahu apa yang buat pasien seperti tadi?"

"Amara juga gak tahu, dok. Waktu Amara selesaikan beres-beres mendadak Latifah kaya tadi," jelas Amara penuh kepanikan.

Sang dokter mengusap bahu Amara. "Ya sudah, kabari keluarganya saja. Kamu jangan panik, buat temanmu semangat untuk kembali sehat." Dokter itu segera pergi, Amara langsung melihat kondisi Latifah yang kembali terpejam. Detak jantung Latifah mulai berjalan normal. Amara membuka ponselnya untuk mengabari Om Basyman dan juga Mami.

"Maafin Om, tadi mendadak ada seminar yang harus Om datengin. Sekarang Om langsung ke sana."

Suara Mami terdengar begitu panik, ia teriak memanggil Pak Tono untuk segera menyiapkan mobil.

Kemungkinan keduanya akan segera datang setelah magrib. Hari sudah semakin gelap, cahaya yang terpantul dari ventilasi udara pun sudah tak berwarna kuning cerah.

Tangan Latifah begitu dingin. Amara berusaha menghangatkannya dengan tangannya yang cukup hangat. Amara semakin khawatir jika Latifah seperti tadi. Entah apa yang sebenarnya terjadi padanya yang membuat dirinya mendadak hampir kehilangan napas.

"Fah, jangan gitu lagi. Semua ini juga udah cukup," lirih Amara masih penuh tangis melihat Latifah yang begitu terlihat sangat pucat. Kali ini kerut di wajahnya dapat terlihat, keringat dingin mulai bercucuran.

Mami dan Om Basyman sudah berkumpul di ruang Latifah. Keduanya terlihat begitu panik, di sisi lain mereka merasa bersyukur sebab dokter menjelaskan bahwa Latifah sudah terbangun dari tidur panjangnya. Latifah masih terpengaruh obat tidur yang dokter suntikkan sebab kondisi Latifah yang terlihat begitu shock, jika dibiarkan Latifah bisa unfall. Bahkan ada kemungkinan Latifah bisa koma lagi. Mami yang sakit berusaha menguatkan diri untuk anaknya. Tubuh Kami masih menggigil sehingga dirinya memakai jaket yang cukup tebal.

Latifah kembali dititipkan ke dokter sebab Amara dan kedua orang tua Latifah akan melaksanakan sholat Maghrib terlebih dahulu.

Selepas sholat, mereka begitu penuh haru mendoakan yang terbaik bagi Latifah. Menginginkan Latifah kembali sadar dalam keadaan sehat serta ceria kembali. Mami tak ingin kehilangan anaknya, Mami sudah kapok dengan banyak kejadian yang hampir merenggut nyawa pada Latifah.

Mami memegang tangan anaknya. Perlahan mata Latifah terbuka, matanya melihat ke segala penjuru. Latifah melihat tangannya digenggam seseorang.

Air mata Mami terjun seketika, semua terharu melihat Latifah terbangun. Amara ikut mendekat. Semuanya sangat merasa senang. Dokter yang berdiri di belakang pun ikut merasakan suasana haru, dirinya seorang dokter baru yang tak menyangka dengan hal yang terjadi di ruangan ini.

Sejuta Lara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang