Bab 24

137 18 5
                                    

Ada Pak Tono yang masuk ke dalam gedung memanggil-manggil Latifah. Syukurlah ada Pak Tono sebagai penolong Amara sekarang, jika tak ada bisa-bisa keributan kembali dimulai.

"Urusan kita belum selesai!" ancam Latifah menatap ganas pada Mario.

Mario hanya mampu membuang napas kasar. Dirinya harus menjaga image depan Amara.

Latifah berjalan cepat menuju Pak Tono. Dari raut wajahnya, Pak Tono begitu senang hingga sedari tadi tak henti memberi senyum.

"Ada apa?" tanya Latifah heran.

"Ada Den Sandi yang pernah Non ceritain waktu itu," jawab Pak Tono sembari mengarahkan badannya pada Sandi yang berdiri di depan pohon rindang.

Sandi memakai kemeja berwarna biru dongker. Setelan pakaian Sandi tak jauh beda dengan Mario. Melihat Sandi dapat datang kemari membuat Latifah senang tak kepalang. Tangan Latifah melambai pada Sandi.

"Ifah ke sana dulu, ya, Pak," pamit Latifah segera menghampiri Sandi.

Senyum Latifah begitu mengembang, sangat merindukan sosok Sandi. Sayang saja belum halal. Setelah Latifah sampai dihadapan Sandi, ia harus meminta kepastian, walaupun Latifah sudah sangat yakin bahwa Sandi memang serius. Hanya saja waktu itu Sandi sedang sibuk.

Latifah berdiri tepat di depan Sandi, memberi senyum malu-malu dihadapannya.

"Makasih udah mau dateng." Kepala Latifah menunduk terfokus pada sepatu haknya.

Jelas Sandi tak datang dengan tangan kosong. Sandi memberikan satu tangkai bunga mawar merah biasa dengan alas warna hitam. Walau terkesan biasa, bagi Latifah itu adalah sebuah pemberian yang menarik. Sebelumnya memang sudah banyak dirinya diberi bunga yang sama oleh Papinya tetapi oleh Sandi rasanya berbeda.

Sandi ragu-ragu untuk memberikan bunga itu. Tetapi waktu juga memaksa dirinya untuk segera memberikan bunga tersebut. "Selamat. Semoga kamu dapat yang lebih baik dari saya."

Latifah menerimanya. Ia jelas tercengang mendengar ucapan Sandi. Yang benar saja Sandi berkata seperti itu. Latifah yakin pasti Sandi sedang bergurau. Mana mungkin perjuangan Latifah menunggu Sandi kandas begitu saja.

Satu alis Latifah terangkat, wajahnya merenung. "Kenapa?" Bunga mawar merah yang dipegang oleh Latifah mulai gontai.

"Saya dijodohkan oleh orang tua saya di desa. Hari ini saya harus berangkat. Satu minggu lagi saya kembali, namun sudah ada yang melingkar di jari manis saya," terang Sandi membuat mata Latifah terasa memanas. Inikah hadiah di hari kelulusannya? Mengapa harus hadiah yang menyedihkan?

"Maaf kalau saya sudah memberi harapan lebih. Assalamualaikum." Sandi melangkah pergi begitu saja meninggalkan Latifah seorang diri. Tak ingin menjadi dosa karena tak menjawab salam, Latifah menjawabnya walau dengan suara yang sangat pelan.

Sekeliling Latifah sedang berswafoto, Latifah menjauh dari keramaian dan mencari keberadaan tempat yang sepi. Hanya fakultas yang berada di ujung yang sudah jelas sepi, sebab mahasiswa fakultas manapun sedang mengambil foto di depan gedung utama. Latifah berlari menjauhi orang-orang yang sedang bersukacita, sekuat tenaga dirinya harus segera sampai. Di mana harga dirinya jika menangis dihadapan banyak orang?

Sampailah Latifah di satu taman yang kosong tak ad siapapun. Latifah duduk di bawah pohon rindang disudut taman. Menumpahkan seluruh tangisnya di sana. Menyesal Latifah berharap pada manusia seperti Sandi, tak punya pengorbanan sama sekali. Jikalau memang sudah dari awal berniat mempermainkan, tidak harus dengan cara taaruf segala.

Diri sendiri yang menghayal sedang dirinya hanya ingin mengenal.

Pahit sekali rasanya dikecewakan. Hati terasa tertusuk oleh pecahan harapan yang hancur. Pahit memakan pil hayalan yang tak menjadi kenyataan.

Sejuta Lara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang