Bab 16

172 17 5
                                    

Sejak Amara dibawa ke panti asuhan itu, dirinya merasa sesuatu terbang pada hatinya. Amara mendadak tersenyum saat mengingat wajah Mario yang dingin mendadak hangat saat bertemu anak-anak. Caranya yang begitu berbeda dengan orang-orang sebayanya. Amara tahu betul Mario memang jutek dan dingin hanya saja dalam perilakunya yang begitu ia menyimpan kehangatan yang amat dalam.

Hal lucu saat malam hari itu terulang pada memori Amara. Di mana saat itu Mario yang pura-pura acuh dan meminta imbalan, lalu ia melajukan mobilnya dan tak lama balik lagi untuk menawari tumpangan.

Amara seperti orang gila sekarang, tersenyum sendiri dengan tangan terus sibuk memainkan bolpoin. Amara di mabuk pesona Mario. Benar saja yang dikatakan Latifah saat pertama kali bertemu dengan Mario, orang itu mempunyai magnet pesona yang kuat untuk menarik wanita. Awalnya Amara tak tertarik tetapi semakin kemari rasanya ada yang membuat dirinya senang saat terbayang Mario.

Jaket Mario masih tersimpan rapi di lemari Amara, jaket itu selalu tertinggal dan terlupakan oleh Amara hingga akhirnya sampai kini jaket itu belum kembali pada pemiliknya.

Latifah menangkap basah Amara yang sedang senyum-senyum tak jelas. Tumben-tumbenan juga Amara tak mendengarkan ocehan dosen, biasanya Amara paling sigap dan amat fokus hingga kata tiap kata yang berbuih dari mulut dosen pun Amara hafal.

"Kamu kenapa?" tanya Latifah menggoyangkan bahu Amara agar tersadar dari lamunannya.

Amara hanya menggeleng dan bersikap biasa-biasa saja agar Latifah tak mencurigainya.

Seorang ratu percintaan seperti Latifah tidak mengetahui? Jelas saja tahu. Sikap demi sikap yang Amara tunjukan sejak pulang dari panti asuhan itu membuat Latifah sudah mulai mencurigai Amara.

"Akhirnya seorang Amara bisa ngerasain jatuh cinta," kata Latifah yang lebih terarah mencemooh.

Latifah melihat ke depan, matanya memang memperhatikan dosen tetapi mulutnya menyindir Amara, "awas jatuhnya doang, cintanya gak dapet." Itu adalah kata-kata yang pernah terlontar dari mulut Amara saat pertama kali memergoki Latifah yang mencintai salah satu kakak kelas di masa SMA.

Merasa tersindir dengan kata-kata itu, Amara hanya mampu mengelak agar Latifah tak terus membahas dirinya. "Siapa yang jatuh cinta, coba? Udah, jangan ngaco!"

Mulut Latifah mencibir, dasar Amara, giliran dirinya yang dipojoki pasti tak mau. Untuk sayang temen, kalau enggak udah dijual ke tukang loak.

Rehat sejenak untuk memasuki kelas selanjutnya. Latifah mengajak Amara ke taman untuk jujur padanya, walau sebenarnya sudah tahu, tetapi rasanya kurang saja kalau belum ada pengakuan dari mulut Amara. Setidaknya berbasa-basi bahwa dirinya sedang merasakan suatu hal.

"Sekarang kamu harus jujur, dan aku juga bakal jujur sama kamu," ucap Latifah memberi iming-iming yang jelas pasti Amara tak akan terkejut dengan kejujurannya.

"Apa yang harus aku jujurin coba?" Alis Amara terangkat.

"Oke! Kamu suka sama polisi itu? Iya 'kan?" gertaknya membuat adu bicara tak berkutik.

Amara sudah menahan senyumnya sejak tadi, lalu ia mengangguk kecil. "Kayaknya gitu," aku Amara menunduk malu.

Tanpa malu Latifah bersorak, "Tuh 'kan! Bener!"

"Fah, jangan keras-keras. Kamu gak malu apa?"

Latifah hanya berekspresi tanpa dosa. Mukanya berubah meneliti wajah Amara, ia merasakan hal ketidak cocokan antara Amara dan Mario. Sebenarnya cocok-cocok saja hanya Latifah terlanjur tak suka pada Mario. Jika seorang sahabat tak merestui maka akan ada suatu hal yang terjadi.

Sejuta Lara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang