Bab 40

153 12 0
                                    

Sudah dua minggu penuh Amara terus menemani Latifah selama di rumah. Latifah masih dilarang untuk keluar dari rumah dan belum boleh untuk berjalan sendiri tanpa dampingan siapapun. Mungkin untuk satu hari ini Latifah masih merasa tak apa sebab ia ingin merasakan berada di rumahnya. Latifah belum diperbolehkan turun dari kursi roda, sebab Rena dan Basyman tahu apa yang akan terjadi pada Latifah jika langsung berjalan sendiri.

Kamar Latifah untuk sementara berada di bawah sebab jika harus menaiki tangga jauh lebih sulit. Tentunya Amara juga pindah kamar, kamar Amara sudah siap malam ini. Kamar yang lebih kecil, tetapi tetap sama fungsinya untuk tamu. Amara tak keberatan sama sekali melainkan Rena yang begitu mengomel dan meminta agar Amara serta Latifah bisa kembali ketempat masing-masing, pasalnya umur Rena sudah cukup tua dan tak mungkin jika terus menerus turun-naik tangga.

Amara mengantar Latifah sampai tepi kasur. "Aku bisa sendiri, kamu harus istirahat. Muka kamu udah beda gitu," ujar Latifah melihat wajah Amara yang terlihat berbeda, bibirnya nampak kering dan pucat.

Seolah diingatkan, Amara segera memberi senyum pada Latifah. "Yakin bisa sendiri? Aku panggil Om Basyman ke atas aja gimana?"

"Gak usah, aku bisa." Latifah berusaha untuk mengangkat tubuh dan sampai di kasur. Itu sangat mudah! Latifah bersi keras berpikir bergitu. Tubuh Latifah mulai terangkat, tangannya bertumpu pada penyangga kursi roda. Amara segera membantu memegangi bahu Latifah, dan akhirnya Latifah bisa sampai di atas kasur. "Makasih banyak, Ra."

"Iya, sama-sama. Aku mau langsung ke kamar."

Amara segera keluar dari kamar dan menutup kembali pintunya rapat-rapat. Sebelum menuju ke dalam kamar barunya, Amara segera melangkah cepat sebelum dirinya telat lagi. Amara menaiki tangga dengan cepat dan menuju kamarnya yang berada di atas. Telat. Hidungnya sudah menetes darah. Tangan kiri Amara segera menutup hidung dan mulutnya

Rena baru saja beres menyapu kamar Latifah lalu melihat Amara yang begitu terburu-buru. "Kenapa, Ra?"

"Maaf Mi, Amara izin ke atas. Ambil sesuatu," jawab Amara dengan suara mulai tak jelas. Rena hanya mengangguk saja dan kembali masuk ke dalam kamar.

Setelah mendapatkan botol obatnya Amara segera bergegas turun ke bawah. Botol obat ia simpan di atas meja dekat vas bunga, Amara segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tangannya serta daerah mulutnya yang sudah pasti penuh dengan darah. Hanya membutuhkan beberapa menit saja Amara segera keluar dari kamar mandi.

Amara menuju dapur untuk membawa segelas air putih. Tak mau ada yang melihat, Amara menuju kamarnya dan segera menutup pintu rapat-rapat.

Obat yang seharusnya tak boleh telat untuk di minum, terlebih Amara sedang banyak pikiran. Kejadian ini sudah 3 kali terjadi, saat Latifah dikabarkan koma, Mario dengan kebohongannya saat itu, dan hari ini yang benar-benar dirinya lupa. Obat pereda tersebut didapatkan dari psikiater yang menjadi dokter penanganan masalah gangguan pada Amara. Tak ada yang Amara beri tahu perihal perobatannya, Amara tak mau menambah beban orang lain terutama Rena. Semenjak mendapatkan gaji dari setiap kerjanya Amara selalu menyisihkan uang untuk konsultasi ke psikiaternya. Amara berharap gangguan ini bisa segera pulih dan membaik.

Perasaannya kini sudah lebih baik dari sebelumnya. Amara memilih menarik selimut dan tidur. Esok sudah waktunya bekerja kembali, bedanya Rena akan ikut. Rena ingin mengecek butiknya saja salah satunya adalah keuangan yang tentu tak pernah luput untuk di cek tiap minggunya. Selama keuangan dipegang Amara jauh lebih baik dari sebelumnya. Selalu ada rekap tiap uang masuk dan keluar beserta alasan, bukti pengeluaran dan pemasukan, dan banyak hal lainnya. Pada intinya pekerjaan Amara sangat bagus dan sulit sekali ada peluang bagi orang lain untuk menggantikan Amara.

•••

'Darah?'

"Fah susunya cuman dikit lagi, mau beli dulu?" Tangan Amara sibuk membuka-buka rak dapur. Biasanya Rena selalu mempunyai stok susu untuk sarapan Latifah, kali ini tak ada.

Sejuta Lara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang