Bab 35

132 16 1
                                    

Sudah mendekati jam 12 butik masih ramai sehingga membuat Amara sangat ragu untuk keluar. Jika ia terus menerus diam hanya akan menambah rasa bosan dan bisa telat untuk datang ke kantor milik mami. Amara menyiapkan tas untuk menutupi wajahnya, ia membuka pintu pelan-pelan. Lita berdiri sangat dekat dengan Gani sehingga Amara tak berpamitan padanya. Amara langsung kabur begitu saja.

"Eh, itu siapa?" tanya Gani pada Lita melihat tiba-tiba ada seseorang yang berlari begitu cepat. Gani pikir seorang pencuri.

"Paling Amara. Dia emang pemalu gitu," jawab Lita santai.

Gani berlari untuk menyusul Amara. Sayangnya setelah melihat ke sana-
ke mari dirinya tak mendapati Amara di mana pun.

"Kenapa, Pak?" Lita menghampiri Gani dan melihat apa yang terjadi.

"Tadi saya liat ada ... yang mencurigakan di dekat mobil saya," elak Gani agar tak malu dengan orang-orang di sekitarnya.

Amara berhasil bersembunyi. Ia segera mencari taksi untuk menuju kantor. Ingin memilih bus tetapi pastinya akan sangat lebih lambat dari pada taksi. Amara hanya perlu berjalan lurus ke depan dan di sanalah tempatnya kendaraan umum melintas. Kini sudah masuk pukul dua belas pas, Amara terus berdoa agar ada taksi yang melipir.

Sepuluh menit kemudian taksi melipir mendekati Amara. Amara menunjukkan kartu kantor yang tertera alamat di sana. Taksi mulai melaju dengan kecepatan rata-rata. Di karenakan waktu siang di Jakarta mulai padat, Amara harus terjebak macet hingga setengah jam lamanya.

"Di sini masjid yang dekat sama kantornya, Neng," ucap supir taksi pada Amara.

"Iya, di sini aja."

Amara keluar dari taksi dan langsung membayarnya. Melihat banyak sandal yang berjejer di bawah tangga masjid membuat Amara senang karena biasanya jarang sekali orang datang ke masjid pada waktu Dzuhur. Biasanya berasalan sibuk atau semacamnya, terutama untuk kaum pria. Melewati pintu di sebelahnya Amara melirik sejenak, ternyata bukan sedang melaksanakan sholat melainkan ada suatu kumpulan semacam sedang mengadakan ceramah tetapi Amara tak terlalu tahu, dirinya berlalu masuk ke dalam pintu khusus untuk wanita.

Amara mulai melaksanakan sholat Dzuhur dengan khusyuk. Cukup tertuju pada Allah, urusan dunia biarlah nanti.

Mukena milik masjid Amara lipat kembali dan setelahnya ia segera meninggalkan masjid. Sandal pria yang Amara lihat 15 menit yang lalu masih berjajar di tempatnya, tak ada yang berkurang. Sedikit bocoran Amara melihat beberapa pria seumuran dengannya bukan bapak-bapak atau kakek-kakek. Keren, pemuda idaman sekali.

Cukup memakan waktu beberapa menit saja untuk berjalan ke kantor, ternyata Rena juga membuka kantor publishing books. Amara terpukau karena banyak sekali bidang bisnis yang Rena bangun.

Amara bersyukur karena sekretaris mami adalah orang yang sangat ramah dan menghargai Amara.

"Maaf kalau Amara telat," sesal Amara takut bila ia memang sudah sangat ditunggu-tunggu.

"It's okey. Terima kasih untuk jasanya, kamu mau masuk dulu?"

Kepala Amara menggeleng. "Enggak usah. Amara masih ada pekerjaan lain."

Amara dan sekretaris itupun saling berpamitan. Tugas ke tiga Amara adalah menuju kafe, lalu tugas ke empat menemui Latifah. Sangat tak sabar sekali, pasalnya sudah dua hari Amara tak ke rumah sakit karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya yang sekarang.

Kembali masuk ke dalam ruang yang sama. 'Si roda empat bercangkang biru' itulah nama lain dari taksi. Amara merasa lega karena beberapa tugas-tugas pentingnya sudah terlaksana. Apa jaket milik Mario itu tugas? Tidak itu sebuah masalah. Amara harus banyak mempersiapkan diri sebelum bertemu Radit yang mempunyai tingkat rasa ingin tahu yang tinggi. Perlu tameng tinggi dan besar, jika tidak maka Radit akan sedia untuk mengejek.

Sejuta Lara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang