Bab 46

154 16 0
                                    

Mario masih kekeh untuk mencari pendonor darah. Sandi sudah mengajak Mario segera ke rumah sakit, tetapi selalu diabaikan. Sampai pada akhirnya Mario lelah sendiri, ia merasa gagal jika tak mendapatkan sosok penyelamat Amara.

"Siapapun ... tolong," lirih Mario begitu lelah dirinya berteriak.

"Tuhan punya cara lain buat nolong Amara, Pak. Kita ke rumah sakit, siapa tahu Latifah sama temennya udah bawa pendonor darahnya," timpal Sandi meyakini. Tangan Sandi menepuk pelan bahu Mario lalu ia memberi senyum kala kepala Mario menengok.

"Ada banyak cara yang manusia gak mampu buat melakukannya, apalagi urusan nyawa," ucap Sandi lagi. Sandi seolah memberi semangat baru, Mario terlalu menguatkan diri sampai melupakan bahwa Amara mempunyai Tuhan yang Maha Penolong.

Mario masuk ke dalam mobil, Sandi mengambil alih untuk menyetir. Suara sirine dinyalakan agar keduanya bisa segera sampai sebelum terlambat.

Semakin dekat rumah sakit semakin sesak sekali dada Mario, seolah ada benda yang menusuk hatinya namun tak dalam, rasanya seperti mengganjal dan membuat gundah. Pikiran kacau, badan lelah, tak ada lagi pikiran positif yang bisa masuk kala ini. Terkadang Mario gundah, lalu ingat kembali pada pikirannya yang awal, dan tak lama gundah lagi, selalu begitu.

Mario melihat motor Radit sudah ada di parkiran membuat Mario segera keluar dari mobil dan bergegas menuju ruang ICU.

Latifah dan Radit menyambut, tatapan keduanya seolah meruntuhkan keyakinan Mario tentang Amara. Inikah mimpi buruknya? Mario sudah siap mendengarkan kabar itu-harus siap. Mario menundukkan kepala, jalannya mulai melaun, air matanya jatuh. Mario tutupi dengan menundukkan kepalanya.

"Amara ..." Latifah mendekat ke arah Mario.

"Maaf saya gagal. Saya mengulang kegagalan," sesal Mario.

Latifah diam sejenak.

"Om Bagus datang tepat waktu. 20 menit terakhir. Amara bisa selamat," lanjut Latifah tersenyum sembari kembali menangis bahagia.

Mario mendongak tak percaya. "Kamu serius?"

"Ifah serius."

"Kenapa muka kamu ... memang, muka kamu memang menyedihkan. Sangat menyedihkan!" geram Mario pada Latifah yang sudah membuat air mata Mario terbuang begitu saja.

Mario pergi mendekati pintu ICU. Latifah sudah menampilkan wajah kesalnya. "Padahal aku khawatirin dia," gumam Latifah segera menyusul dengan langkah kaki yang begitu malas.

Bagus keluar dari pintu ICU, lengan kirinya sudah ditutupi plaster. Pastinya banyak sekali darah yang didonorkan pada Amara. Bagus menghampiri orang-orang yang sudah menunggu Amara, mereka berdiri menjejer seolah ingin mengetahui informasi mengenai Amara.

"Terima kasih sudah berusaha untuk Amara," ujar Bagus tulus.

"Amara bisa bangun lagi kan, Om?" tanya Latifah mendahului Mario yang akan membuka mulut.

"Insyaallah, kalian berdoa aja."

Radit, Latifah dan Sandi melirik Mario. Setelah mendapatkan tatapan tajam dari Mario mereka segera menatap Bagus lagi.

"Hm, apa setelah ini Pak Bagus harus kami antar ke kantor polisi, sebagai saksi?" tawar Mario mencairkan keheningan.

"Sudah ada polisi lain. Kalian harus jaga privasi Amara, saya gak mau Amara nantinya diwawancarai begitupun kalian. Tolak saja demi keamanan. Walaupun saya yakin satu persatu banyak berita tentang orang itu bermunculan," papar Bagus sudah melihat satu persatu berita mengenai Gani disebarkan di berbagai media sosial.

"Saya harus langsung pergi. Telepon saya pakai handphone Amara kalau ada apa-apa sama Amara. Terima kasih semuanya. Assalamualaikum," pamit Bagus segera meninggalkan kawasan ICU.

Sejuta Lara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang