Bab 53 [MARIO]

251 16 0
                                    

MARIO POV

Jadi sosok mualaf tak semudah itu, terkadang banyak pertanyaan yang selalu timbul. Untungnya aku mempunyai seorang guru yang Sandi kenalkan. Belajar Islam tanpa guru adalah hal yang salah katanya, oleh sebab itu semua yang beragama Islam patutnya mempunyai seorang guru.

Aku tak mau kehilangan sosok wanita lagi, terlebih yang sudah aku kenal. Amara adalah wanita kedua setelah Mama. Kupanggil saja ia Mama—nyaman saja memanggilnya begitu.

Walaupun Mama seorang polwan yang pastinya kuat, ternyata Mama tetap kalah. Saat itu Mama menyelamatkan nyawa seseorang yang sedang disandera. Penjahat itu suaminya sendiri, ia menyandera adik Mama untuk mendapatkan hak asuh. Aku belum mengerti sepenuhnya, sebab Ibu Rena hanya menceritakan sampai situ. Intinya Mama mengelak aku dibunuh oleh tangannya sendiri, dan setelah dicari tahu tentang kematian Mama, Mama meninggalkan karena kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Mama menyelematkanku dari suaminya yang kejam. Mama menaruhku di panti asuhan demi keselamatanku. Satu informasi lagi, bagi keluarga Piantan, pria bagai emas bersinar mereka jadi karena itu ia begitu menginginkanku—sampai tega membunuh Mama.

Aku tak ingin tahu menahu perihal nama, dan di mana atau latar belakang suami bejad Mama. Aku hanya ingin membuat Mama bangga pada anaknya terlebih kini aku sudah berhasil menjadi polisi sebagai penerus dirinya.

Makam Mama tak jauh dari panti asuhan, kalau sudah tahu dari dulu pasti aku sering mendatanginya.
Ibu Rena baru memberi tahu segalanya tentang Mama setelah aku berani menanyakannya. Mendatangi makam seseorang yang tak pernah kutemui rasanya memang hampa, tetapi ada suatu kenyamanan setiap aku bercerita padanya. Dan kini aku sedang berada di sisi Mama.

"Sebentar lagi Rio menikah. Mama gak usah khawatir Rio bakal kesepian."

Niatku datang ke makam Mama untuk memberi tahu soal lamaranku dengan Amara dan menceritakan tentang  sosok wanita tercantik itu.

Menjauh untuk menjaga, begitulah caraku untuk diam-diam mendapatkan Amara. Tidak seperti aku yang dulu, begitu terbuka dan kesannya mendesak Amara. Terlebih soal surat-surat yang aku buat saat Amara di rumah sakit, dan sepertinya surat-surat itu sudah Amara buang.

Amara adalah wanita yang menjaga kehormatannya. Selain itu dia tangguh dan tetap bertahan dalam keadaan yang sulit. Walaupun dari cerita Latifah aku tak pernah menyangka. Awalnya aku mengira saat di atas gedung Amara hanya bermimpi, ternyata ia memang sedang masuk ke dalam memori terburuk dalam hidupnya.

"Ifah beneran nangkap basah Amara mau jatuhin diri di atas gedung sekolah. Amara udah berdiri di tepi gedung, intinya mau jatoh!" ujar Latifah begitu heboh.

"Terus kamu diem aja?" responku pada Latifah.

"Ya engga lah, walaupun Ifah belum kenal. Ifah buat dia kesel aja, buat ngalihin perhatian dia. Tapi tau sendiri, Amara gak marah sama sekali."

Percobaannya digagalkan Latifah, aku bersyukur Amara masih bisa hidup sampai sekarang. Aku tak akan membiarkan memori buruk Amara terus memenuhi kepalanya. Orang-orang yang hadir saat Amara masih kecil sepertinya monster bagi Amara, mereka membuat takut Amara setiap saat walaupun Amara jauh dari mereka. Menyerah memang manusiawi bagi manusia, tetapi niat untuk meninggalkan dunia hanya orang-orang yang berharap tenang walau itu hal yang salah.

Jauh lebih baik dilampiaskan lewat hobi, seperti yang sering aku lakukan setiap merasa ingin enyah dari dunia, yaitu bermain gitar, gym, membaca buku, atau mengelus rambut halus makhluk menggemaskan walau terkadang menyebalkan—kucing, kucing atau hewan peliharaan lainnya juga membantu sebab setiap melihatnya ada sebuah lintasan 'nanti yang rawat dia siapa?'

Lekas membaik, jiwa yang ingin tenang.

Kini yang aku lihat Amara mulai membaik, cara Om Bagus membawa Amara pergi dari Jakarta adalah cara yang tepat.

Sejuta Lara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang