Bab 9

226 36 6
                                    

Selesai membersihkan diri Mario duduk di sisi ranjang, ia mengambil barang bukti yang berada pada nakas.

Gelang itu ternyata memang benar milik Rehan. Dari berbagai tes sudah membuktikannya. Atasan Mario mengizinkan Mario untuk memberi informasi ini pada Amara dan bisa memperlihatkan barang bukti padanya.

Gelang itu sudah di lapisi plastik rekat, sehingga tidak bisa memegangnya secara langsung.

Memperhatikan gelang milik Rehan membuat Mario teringat sepertinya Amara juga memakai sesuatu yang sama. Warnanya hitam dan terbuat dari tali kain.

"Kalung?" pikir Mario terus mengamati gelangnya.

"Ah, dia 'kan berhijab," balasnya masih bersikeras berpikir.

Mario mulai teringat ada sesuatu yang memutari jari manis Amara. "Ya! Cincin," ucapnya penuh antusias.

"Persaudaraan yang manis," gumamnya memberikan senyuman pada gelang di hadapannya.

"Sayangnya takdir memisahkan mereka."

Persaudaraan adalah sesuatu yang tak pernah Mario rasakan. Ia juga ingin merasakan kehangatan persaudaraan, namun sayangnya keluarga pun Mario tak ada. Keluarga di panti asuhan baginya hanya teman biasa yang berlalu lalang dalam hidupnya, mereka tak memberi pengaruh apapun pada Mario.

Mario terus membayangkan betapa indahnya persaudaraan Amara dan Rehan, mereka saling kuat dalam hidupnya apalagi saat Mario mengetahui ternyata mereka adalah yatim piatu. Dirinya membandingkan antara hidupnya dengan Amara, tak jauh beda hanya saja Amara berada di tempat yang salah. Mario kecil berada di panti asuhan dan Amara berada di kandang singa yang siap mencabiknya.

Muka sangar Paman dan Tente Amara juga tiba-tiba muncul pada benak Mario. Bagaimana keadaan Amara kecil saat tinggal bersama mereka? Apakah hidupnya sudah sulit sejak dulu? Pertanyaan sama yang juga muncul saat Mario mengetahui lebih dalam tentang kehidupan Amara.

Awalnya Mario mencari tahu tentang kehidupan Amara agar ia lebih tahu tentang Rehan, tetapi nyatanya ia malah terlalu fokus pada Amara.

Mimpi yang terjadi saat sore pada Amara terdengar begitu nyata di telinga Mario. Dirinya semakin penasaran dengan semua yang di sembunyikan Amara.

"Ada apa dengan hidupmu? Sampai membuat seorang sepertiku penasaran."

Tak berdiri dari ranjangnya, Mario hanya menarik laci nakas di sisi kasur untuk menyimpan gelang milik Rehan.

Merebahkan diri dan menatap pada langit-langit atap kamar. Dirinya hanya terus berpikir tentang kasus yang lama sekali tuntas baginya. Mario kira kasus seperti ini akan sangat mudah di tuntaskan bahkan waktu 2 minggu rasanya cukup untuk mengumpulkan bukti.

Dalam benak Mario ada satu orang yang ia curigai, yaitu Paman Amara sendiri. Tetapi ia tak boleh asal tuduh jika belum ada bukti yang kuat.

Kasus ini seperti suatu alasan yang membuat Mario akan selalu ada di dekat Amara. Anehnya sebuah kebetulan selalu ada di antara mereka.

Mario menekan semua perasaan anehnya yang selalu muncul tiap dekat dengan Amara, ia benar-benar serius dan melakukan semuanya dengan profesional.

Suara bel pintu membuat pikiran Mario buyar. Larut malam begini memangnya siapa yang bertamu? Bahkan Mario terbilang jarang menerima tamu. Suara bel semakin keras, sang tamu sangat tak sabaran dan tak henti untuk terus menekan belnya.

Kala membuka pintu, seseorang paruh baya tampil di depan Mario sembari membawa kucingnya. "Ada apa, ya?" tanya Mario mulai merasakan sesuatu yang tak enak.

Sejuta Lara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang