Shanka berlari sekencang-kencangnya membelah koridor jurusan IPA yang tampak sepi karena masih di jam KBM. Masa bodo dengan suara sepatunya yang terdengar merusak suasana hening.
Sesampainya di toilet ia mengetuk—ah mungkin lebih tepatnya memukul pintu toilet yang berada di ujung dengan brutal.
"Gisel, buka!"
Hening. Tidak ada jawaban dari dalam meskipun Shanka mendengar suara tangisan Gisel dengan jelas.
"Sel, buka! Aku gak mungkin ngerusak fasilitas sekolah," ujar Shanka.
Dari dalam, akhirnya Gisel membuka pintu toilet. Ia diam di sana sambil memperhatikan Shanka yang terlihat ngos-ngosan.
Gue terus-terusan nyusahin Shanka.
Shanka segera memeluk Gisel dan menenangkannya. Tidak tahu apa permasalahannya, tapi kalau boleh menebak pasti tidak jauh-jauh dari sang Ayah.
Setelah dirasa tenang, Shanka segera menarik Gisel menuju parkiran sekolah. Ia ingat ada yogurt kesukaan Gisel di motornya.
"Nih."
Gisel hanya diam menatap Shanka.
"Ayo ambil, rasa blueberry kan kesukaan kamu," kata Shanka lagi.
Bukannya menerima, Gisel justru kembali menangis membuat Shanka sedikit menghela napas.
"Kamu kenapa sih? Lagi dateng tamu? Kan ini masih tengah bulan."
Gisel menghapus air matanya lalu mengambil alih yogurt di tangan Shanka. "Makasih."
Gisel membukanya dan menawarkan pada Shanka. Shanka hanya menggelengkan kepalanya, tentu menolak karena ia tahu seberapa sukanya Gisel dengan yogurt tersebut.
"Mau bolos nggak?"
Gisel menganggukkan kepalanya. "Tapi gak mau kalau keluar sekolah."
Bolos di sekolah pasti gak jauh-jauh dari kantin atau nggak UKS. Tapi dua tempat itu tidak cocok untuk Gisel yang baru saja menangis. Karena bisa Shanka pastikan, setelah ini Gisel akan menceritakan alasannya.
Shanka memutar otak, mengira-ngira ke mana ia harus pergi membolos pelajaran.
"Aha, gimana kalau ke basecamp dance?"
Gisel itu bukan anggota club dance. Tentu saja ia sungkan harus masuk ke ruang dance.
"Gapapa, ada aku." Shanka tersenyum pada Gisel dan dibalas senyum juga oleh gadis dengan rambut sepunggung itu.
Gisel berjalan di samping Shanka. Ia sedikit memelankan jalannya sambil diam-diam memandangi salah satu sosok terpenting baginya.
Gue gak tau gimana gue bisa ngelewatin ini kalau lo nggak ada. Gue gak mau ngerepotin Shanka, tapi gue butuh dia, batin Gisel.
Suara langkah kaki yang tak jauh dari belakang sepasang muda-mudi itu terdengar di seluruh koridor.
"Mbak Gi!"
Gisel membalikkan badannya. "Savna?"
Wajah Savna sedikit mengejek setelah matanya menangkap Shanka dan Gisel yang berani bergandeng tangan di koridor menuju tangga lantai dua.
"Kenapa, Na?" tanya Shanka.
Savna menggoyangkan jari telunjuknya di depan Shanka. "Gak ngomong sama Mas Shanka."
"Mbak Gi, sore ini kosong nggak?" tanya Savna sambil beralih pada Gisel.
"Kosong sih, ngajak nyari makan, ya?" tebak Gisel yang hampir hafal dengan sifat Savna. Kalau keluar pasti alasannya hanya dua, mencari kebutuhan sekolah dan OSIS atau mencari makanan enak.
Savna menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Kali ini bakal ada Mbak Karin sama Nila juga."
"Oh, girls time nih ceritanya?" sela Shanka.
"Gampang, nanti samper ke kelas gue aja."
Savna memberi gestur tanda 'oke' dari tangannya lalu kembali meninggalkan keduanya dengan alasan pamit menemui adik kelasnya.
"Mau dianterin gak?"
Anggukan kecil dari Gisel membuat Shanka menjadi gemas. Tangan siswa itu tak segan mengacak-acak surai hitam Gisel.
Sesampainya di basecamp ekskul dance, Gisel duduk di samping tembok yang memisah basecamp dance dan ruang musik.
Shanka hanya diam, menunggu perempuannya berbicara padahal Gisel sendiri tengah bergelut dengan pikirannya.
Ada empat menit Shanka menunggu hingga Gisel mau angkat bicara lebih dulu.
"Ayah sama Mbak Dinda berantem lagi."
Shanka hanya diam, masih menunggu cerita sepenuhnya.
"Mbak Dinda semaleman kabur, dia bilang tidur di studio photo bunda dan gak minta buat dicariin. Untungnya ada Mas Delvin yang nemenin dia."
Shanka menghela napas terlebih dahulu. Permasalahan Gisel sebenarnya tidak rumit, namun juga tidak bisa disepelekan. Laki-laki itu juga tak memiliki hak apapun untuk ikut campur dalam masalah keluarga Gisel.
Tugas kamu itu jadi tempat pulang sementara buat Gisel selama rumahnya masih belum membaik. Begitulah kalimat dari sang Ibunda yang selalu ia sematkan dikepalanya.
"Ayah sendiri gimana?" tanya Shanka.
Gisel mendongak. "Ayah ya kayak biasanya, lanjut kerja dan kekeh mau nutupin masalah ini dari siapapun di luar rumah."
"Mbak Dinda sekarang udah pulang, kan?"
Gisel lagi-lagi mengangguk. Bukan anggukan semangat seperti saat Shanka menawarkan diri untuk mengantarnya tadi, hanya anggukan pasrah karena bingung harus menjawab apa.
"Kamu kalau masih butuh tempat cerita atau sekiranya aku kurang cukup buat kamu, kamu bisa ceritain ke cewek-cewek nanti," titah Shanka.
Bagaimanapun ladang curhat yang Gisel punya hanya Shanka. Sesekali Shanka juga ingin gadis didepannya ini berbagi dengan teman perempuannya yang lain.
Bukannya Shanka tidak mau dan sebagainya, hanya saja bercerita pada sesama perempuan mungkin akan membantu beban Gisel. Setidaknya mereka bisa sekedar menangis bersama.
•••
Yang nungguin visualisasi Mbak Dinda, tunggu beberapa chapter lagi ya...

KAMU SEDANG MEMBACA
ZER00'S
Novela Juvenil"For your information, mereka itu namanya 𝗭𝗘𝗥𝟬𝟬'𝗦. Geng populer yang isinya sembilan cogan plus empat cecan hits di Smandatura. "Dari kanan ke kiri baris pertama ada 𝗥𝗲𝗻𝗷𝗮, 𝗞𝗮𝗶𝘃𝗮𝗻, dan 𝗡𝗶𝗹𝗮, baris kedua ada 𝗝𝗮𝗻𝗮𝗿, 𝗞𝗮𝗿...