❀ silent mode

869 109 7
                                    

Ken membuka pintu kamar berwarna putih dengan hati-hati. Diintipnya ke dalam guna memastikan apakah penghuninya masih terjaga.

Heningnya ruangan tidur tersebut membuat Ken membuka pintu secara lebar-lebar. Terpampang sang adik yang terlelap dengan bertumpu lengan pada meja belajarnya.

Nafasnya dihela sejenak. Selalu saja seperti ini setiap malam.

"Rin ... Pindah ke kasur gih!"

Karina sedikit tersentak hingga membuat kepalanya pusing. Ketika badannya ditegakkan, terasa nyeri dari pinggang hingga lehernya.

"Kamu tuh kebiasaan. Kalau udah capek belajar ya tidur aja, jangan dipaksain," omel Ken.

Sungguh Ken tidak tahan dengan adik semata wayangnya ini. Setiap ia di kelas akhir, selalu saja gila belajar seperti ini. Padahal orang rumahnya tidak menuntut ini itu untuk Karina, hanya inisiatifnya saja.

Karina lalu mengucek kedua matanya agar penglihatannya tidak lagi kabur. "Besok ada simulasi, Mas."

"Simulasi sih simulasi, tapi jangan abai sama kesehatan juga dong. Kamu kayak gini yang ada bikin sakit pas hari H ujian."

Serius, tidak ada yang tahu bagaimana keras kepalanya Karina mengenai sistem belajarnya bahkan Janar sekalipun.

Terkadang Ken merasa senang jika Janar mengunjungi rumahnya dan mengajak adik perempuannya itu untuk keluar rumah. Karena demi apapun Ken ikut pusing melihat Karina selalu saja dikelilingi dengan buku-buku.

"Iya, iya, nanti Karin gak gini lagi," kata Karina yang sudah pasti tidak sesuai dengan yang sebenarnya.

Paginya Karina terbangun dengan kepala yang cukup pusing serta perutnya yang terasa sakit.

Dilihatnya kalender yang berdiri tegak di atas meja belajarnya dan ia menghela napas kasar saat menyadari ia akan memasuki fase PMS.

"Rin, udah selesai? Ada Janar di bawah," kata Ken dari ruang tamu. Ah mungkin lebih tepatnya berteriak.

"Iyaa ini keluar."

Singkat cerita Karina berpamitan pada Ken dan keluar dari dalam rumahnya. Sebuah pemandangan Janar tengah bermain ponsel dengan bersandarkan pada motor yang terparkir asal-asalan di area rumahnya menyambut mata Karina.

"Lama gak?"

"Gak juga sih," kata Janar sambil menggelengkan kepalanya.

"Lo sesi pertama 'kan?" tanya Karina. Tangannya meraih helm dan memakainya.

Janar membantu mengaitkan pengait helm yang digunakan Karina, diakhiri dengan senyum bulannya cukup membuat Karina merasa rileks menghadapi simulasi pertamanya.

"Udah belajar?"

"Kalau gue jawab belum belajar gimana, Rin?"

Karina lalu mendekatkan bibirnya pada telinga kiri Janar. "Lo bakal gue tendang sampe lo nyantol di bulan!"

Janar lalu memberikan reaksi tertawanya yang cukup membuat jantung Karina berdebar lebih kencang.

"Oh iya, Gisel sama Harsa gimana?"

"Apanya yang gimana?"

"Ish ... Maksudnya mereka udah ngobrol berdua gak? Gak enak banget dua hari ini mereka kayak orang gak kenal gitu."

"Gimana ya, Rin. Itu kan menyangkut keluarga masing-masing, gue mau nyuruh mereka buat ngobrol juga gak enak, kesannya ikut campur urusan rumah tangga orang."

Karina lagi-lagi mengambil napas besar-besar. Kepalanya sudah pusing untuk menghadapi soal-soal ujian, ditambah kedua adiknya sedang perang dingin.

"Kamu simulasinya bareng sama Shylla juga nggak?" tanya Karina lagi.

"Iya, dia juga sesi satu."

"Nanti pulang sama dia lagi nggak?"

Janar hanya diam, entah karena ia tak mendengar pertanyaan Karina atau memang sengaja tidak mendengar pertanyaan tersebut.

Karina tidak mau berpikir negatif atau menuduh Janar yang tidak-tidak. Tapi beberapa minggu terakhir, Janar sering kali pergi bersama Shylla.

Karina tidak protes karena takut ini semua hanya efek dari rasa stress-nya menghadapi ujian.

"Kamu tadi bilang apa, Rin?"


•••


MANA YANG KEMARIN NYARIIN JANARINA?
Nih aku bawa mereka sekalian konfliknya JIAHAHAHAHAH

ZER00'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang