Tabula Rasa

704 104 108
                                    




--📌--









Deokjin-gu, Jeonju-si, 17 tahun yang lalu.




Seunit mobil sedan hitam mewah meluncur mulus, melewati jalan yang tidak dikenal. Raga menginginkan sedikit waktu untuk melamun atau beristirahat, tetapi isi kepala tidak mengizinkan barang sesaat.


Sang bagaskara bersembunyi di balik payoda, merahasiakan kalau hari sudah siang dengan gerimis yang datang tanpa diundang. Hujan di musim panas; lembab, terasa menyesakkan. Sesak seperti suasana yang berlangsung hampir lima jam lamanya.


Di sela pampatnya obrolan, ada tembang yang terlantun merdu. Memenuhi kesunyian dengan temponya yang mendayu.




Why does the sun go on shining?




Dua pasang manik kelinci; sepasang di antaranya tertutup rapat, enggan mengobservasi.




Why does the sea rush to shore?




Sementara yang satunya tidak henti mengagumi segala sesuatu yang tertangkap di pantulan retina.




Don't they know it's the end of the world? 'cause you don't love me any mor-




"Kita sudah sampai, Nyonya Han."


Kalimat pemberitahuan sang supir menyela tembang, mengundang munculnya senyum getir berbalut ketakutan.


Dua pasang manik kelinci sama terbuka; lebar, penuh keingintahuan. Dua tangan saling menggenggam; takut akan kehilangan meskipun tahu kalau raga tengah berdampingan. Meskipun tahu kalau ada sosok Ibunda yang senantiasa menjaga.


"Tuan dan Nyonya Besar sudah menunggu kedatangan Anda sekalian di dalam."


Mansion megah berdiri di depan mata. Seolah menyambut kedatangan mereka dengan sejuta dingin dan hampa.


"Saya akan membawa barang-barang Anda, silahkan Anda masuk terlebih dahulu."


Lagi, senyum sang Ibu hanya bisa terulas seadanya; hambar, tanpa rasa.


"Eomma, apa di sini dekat dengan pantai?"


Satu di antara bunganya memanggil, tatapan penuh pertanyaan dan sarat akan ketakutan.


"Eomma tidak tahu, Sayang."


Manik kelinci itu mengerjap lambat lalu menoleh kepada saudaranya.


Sang Ibu membungkuk, membubuhkan kecupan di masing-masing dahi kedua buah hatinya tanpa berkata apa-apa.


"Silahkan, Nyonya Han."


Pintu mansion dari kayu mahogani; besar, megah, penuh ukiran mewah, terbuka lebar, dua pelayan berada di sisi kiri dan kanannya.


Langkah diambil ragu, tetapi genggaman tetap terajut. Tatapan berkeliling, mengagumi setiap detail interior mansion. Kekaguman terus berlanjut sampai sesosok pria paruh baya masuk di tangkapan netra.


"Kau sudah datang." Entah ini disebut dengan sapa atau sekadar basa-basi belaka. Kalimat yang penuh dengan misteri tanpa arti yang pasti.


Nyonya Han membungkuk sopan, kedua kelincinya mengikuti tanpa disuruh lagi.


SOBER || MARKMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang