9. Desas-Desus

26 6 0
                                    

Gerald pamit pada semuanya. Yang membuatnya terharu adalah semuanya menyemangatinya.

Predikat kelas tersolid memang benar adanya.

Gerald berharap ia tak perlu waktu lama sampai menemukan Leana. Yang ia pikirkan sejak tadi adalah, lalu apa? Apa yang harus ia lakukan kalau sudah menemukan Leana?

Ada yang aneh dengan anak itu. Entah apakah ia kesurupan atau terkena pengaruh sesuatu ke pikirannya.

Tadi, sebelum beranjak, Gerald sempat bertanya, apakah ada yang kira-kira tahu ke mana Leana pergi. Dilihat-lihat, anak itu kabur ke belakang vila, bukan ke arah laut. Kata Rivan, mungkin ke kampung. Kalau ditanya alasan, anak itu tidak tahu.

Terus, dia di mana?

Siapa pula yang tahu alasan Leana kabur? Siapa pula yang paham dengan kelakuan anak itu? Gerald, yang paling dekat saja, benar-benar heran. Andai benar Leana kerasukan, mengapa pula ia seperti punya dua kepribadian?

Lagi, Gerald mengecek jam di ponselnya. Masih pukul delapan. Masih pagi. Teramat pagi untuk kejadian aneh.

"Masih pagi, ya," gumam Gerald. Ia menoleh ke arah pantai. Matahari pagi tampak jelas, tanpa terhalang awan. Tampak beberapa ekor burung terbang di atas laut, mungkin camar. Suasana yang sebenarnya menyenangkan. Gerald bisa membayangkan ia duduk-duduk di pantai sambil menikmati es kelapa dan juga mengganggu Leana. Ralat, menjaganya.

Leana aneh dari semalam. Sangat aneh, andai yang Gerald lihat bukan mimpi. Leana seperti menari ke tengah laut. Seperti ada yang menariknya, mengajaknya ke sana.

Gerald menggeleng. Semoga cuma mimpi. Ini pantai selatan. Itu terlalu menyeramkan. Dia bisa mati. Ia menghela napas sambil melalui jalan yang pernah ia lewati kemarin. Ia menuju ke arah kampung, kali ini berjalan, tidak berlari. Bukan masalah diburu waktu, melainkan tidak ada kepastian Leana ada di kampung. Siapa tahu malah sembunyi di hutan? Maka, Gerald berjalan sambil celingukan.

Hutan yang didominasi bakau itu sepi, meski sesekali tampak orang lewat. Sepertinya memang melakukan pekerjaannya-apa pula pekerjaan di dalam hutan? Sudahlah, Gerald tak mau banyak berprasangka.

Sudah hampir pukul sembilan ketika Gerald sampai di kampung itu. Kampung yang sebenarnya tidak jauh dari jalan raya. Kalau lurus sedikit lagi, Gerald akan sampai di jalan lintas provinsi. Namun, apakah ia harus ke sana? Sebaiknya, ia bertanya ke warga sekitar dulu.

"Eh, yang kemarin beli es!" sapa seorang wanita penjaga warung ketika Gerald mendekat. "Dari sini ke vila jauh, kan? Jalan kaki?"

Gerald mengangguk. Ia mulai letih, jadi ia memutuskan untuk istirahat sejenak dan membeli kemasan minuman dingin. Setelah cukup bertenaga, barulah ia bertanya. "Mbak, apa Mbak lihat ada anak perempuan di sini?"

"Anak perempuan?"

Gerald menggaruk kepalanya. Anak perempuan mah di mana-mana juga ada. "Iya, anak seumuran saya, pakai rok putih, rambutnya panjang."

"Kok cirinya serem?" balas wanita itu sambil membelalak.

"Berarti enggak lihat, ya?" Gerald tak peduli reaksi aneh tadi.

"Enggak, enggak. Kamu ngingetin saya sama sesuatu."

"Sesuatu?" Gerald malah tertarik.

"Itu, uh ... sekarang masih pagi, kan?" Wanita itu melirik jam sebelum melanjutkan. "Kenalan dulu, Dek. Saya Asti, yang punya warung."

Gerald mengangguk.

"Itu ... minggu lalu, kalau enggak salah, di sini heboh sama penampakan."

"Penampakan?" Gerald mengernyit, berusaha menormalkan gemuruh di dadanya. "Mbak, saya tanya manusia beneran, lo, bukan demit. Dia asal kabur aja enggak izin tadi, makanya saya cari."

Yang TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang