21. Maafkan Aku

32 6 2
                                    

Tenang sekali tidur Leana malam itu. Meski tak ada ponsel dan tidak tahu ia di mana sebenarnya, di mana letak vila Yessy sebenarnya, tetapi Leana merasa aman. Pasalnya, Anya ada di sana. Ia sama sekali tak bermimpi, alias tidurnya benar-benar dalam.

Sepertiga malam itu, Leana terbangun dan mendapati Anyelir salat malam. Ia bergeming di kasur sampai anak itu beranjak.

"Kamu benar-benar konsisten, ya."

Anya menoleh, lalu tersenyum tipis. "Harus. Kalau enggak, aku yang celaka."

"Anya, kamu paham soal itu. Kamu udah merasakannya. Aku, aku ... enggak paham. Sekian lama enggak ada apa-apa, kukira aku udah aman." Leana kembali tergugu. "Kamu memang panutan."

"Len, hidup kita berbeda."

Leana mengangguk.

"Aku enggak bisa sampai marah ke kamu, alasannya bukan cuma soal ikatan. Aku tahu, kamu dan Gerald biasa hidup normal, sampai kejadian tahun lalu. Wajar kalau kalian pengin melupakan dan kembali ke kehidupan normal kalian." Anya menghela napas. "Aku enggak normal."

"Anya, apa kamu masih sakit-sakitan?"

"Alhamdulillah enggak." Namun, Anya menunduk, seolah menyesal.

"Nya?"

"Enggak bisa ... aku enggak bisa. Aku enggak mau ini terjadi, tapi ... gimana?" Anya mengangkat wajah. Ekspresinya tampak ingin menangis. "Aku kembali."

"Eh?"

"Sesuatu terjadi nun di hutan sana. Tempat Zleth menarik penjagaku."

Leana membeku. Apa pun itu, kalau sudah membahas Zleth, ia akan takut.

"Sesuatu yang membuat ia kembali padaku."

"Eh, jadi ...?"

"Aku gagal."

Leana menelan ludah. "Dia ... kembali? Lalu, Zleth ...?"

"Dia menghilang. Mungkin buat selamanya."

Leana tak tahu ia merasa lega atau gamang. Ditatapnya Anya penuh perasaan bersalah.

"Kamu enggak salah, Len. Aku memang harus menanggungnya." Anya tersenyum tipis. "Sementara ini, aku bisa menjamin keamananmu kalau di dekatku. Enggak tahu nanti-nanti, takutnya malah berbalik. Yah, pokoknya, sekarang dulu."

"Anya, pengawalmu, yang hitam besar itu, kembali?" Leana memastikan.

Anya mengangguk. "Aneh. Mestinya, kami benar-benar enggak terikat lagi."

"Jadi, yang kamu perbuat tahun lalu ... gagal?"

Anya tersenyum tipis. Ia menghampiri kasur, lalu menyentuh tangan Leana. "Enggak usah risau. Ini urusanku pribadi. Kamu istirahat aja, kamu harus sehat."

"Ma-makasih, kenapa kamu selalu perhatian sama aku ...." Leana terisak.

Anya hanya rebahan di sebelah Leana. "Selamat tidur, Len."

Anya tertidur begitu saja. Hanya Leana yang terjaga sampai menjelang subuh.

****

Seharian, Leana hanya berdiam di kamar suite itu. Ia meminjam ponsel Anya, mencoba menghubungi orang tuanya. Bisa jadi mereka panik karena ... lebih dari dua hari Leana tak berkabar.

Itu sih pasti panik.

Untung Leana hafal nomor ibunya. Ia langsung diserbu lewat telepon. Leana cengengesan, meski perasaan bersalah menghantui. Apalagi ketika Bapak membawa-bawa Gerald.

"Kalian terpisah?" Suara Bapak menajam.

"E-eh, iya ...."

"Kok bisa?!"

Yang TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang