22. Aku Memaafkanmu

29 6 0
                                    

Gerald rindu.

Meski bicara seperti itu pada Anya, ia tak akan menampik perasaannya. Melihat Anya saja, ia sudah ingin menariknya. Gerald tak mau lagi berjauhan. Membuatnya benar-benar stres.

Sejak peristiwa tahun lalu, Gerald merasa, ia ketergantungan Anya. Setahun tak bertemu, ia terus kepikiran. Apalagi ditambah sikap Leana yang membuatnya senewen.

Mana bisa aku ngurus Leana sendiri?

Mengapa pula Leana harus diurus? Lama-lama Gerald heran sendiri. Namun, ia melihatnya langsung. Sekalinya Leana berjauhan darinya, hal buruk langsung terjadi.

Sampai sekarang.

Gerald ingat kata-katanya kemarin. Ia hendak ke pantai malam hari.

Seharian, bayang-bayang Leana di akhir mimpinya membuat Gerald amat kepikiran. Anak itu terlihat baik-baik saja. Bukan hanya itu, Leana tampak ingin membantunya.

Membantu dari apa? Bukannya selama ini aku merepotkan?

"Malem ini kamu mau ngapain?" tanya Rivan.

"Kenapa? Mau acara?"

"Mau santai aja. Semalam kamu bobo cepet banget, belum juga jam 8," sahut Rivan. "Mungkin malam ini mau ngobrol-ngobrol aja, sambil makan-makan. Pak Kar udah jajan macem-macem."

"Aku mau ke pantai," jawab Gerald.

"Pantai lagi?!" Rivan langsung emosi. "Ngapain kamu ngegalau begitu?"

"Aku janji ke temanku."

"Anyelir?" celetuk Yessy.

Gerald mengangguk.

"Eh, ajak dia ke sini!"

Gerald hanya nyengir. "Kalau ketemu. Aku cuma janji aku bakal di pantai, tapi dia lagi marah."

"Eh ... masalah kalian ribet, ya."

"Aku nyusul kalau masih sempat," ujar Gerald. "Aku minta bekal aja. Maaf, aku lagi jadi sadboy."

"Minta ditendang," sahut Hisyam.

Gerald pamit lepas magrib. Ia berjalan menjauhi vila, mengikuti garis pantai.

Senja di Pantai Selatan. Sendirian, tanpa ada orang lain.

Mungkin, kalau Gerald berjalan lebih jauh, ia akan menemukan orang-orang kampung yang bercengkerama di pantai. Namun, ia ingin sendiri. Gerald bersyukur daerah sekitar vila Yessy cukup luas.

Matahari terbenam seluruhnya. Pantai tanpa pencahayaan itu sempurna gelap. Gerald merogoh sakunya. Ada dua ponsel di sana. Satu miliknya, satu lagi Leana. Ada banyak panggilan tak terjawab di ponsel Leana, baterainya pun sekarat. Gerald sudah menghubungi nomor itu, nomor ibunya Leana, menggunakan ponselnya yang antara hidup dan mati. Ia kena sembur bapaknya Leana.

"Beneran baik-baik aja? Mana suaranya?"

"Lagi enggak bareng. Hapenya ketinggalan."

"Kok bisa enggak bareng?"

Bahkan bapaknya Leana pun menyuruh mereka terus bersama.

Gerald menghela napas. Sulit juga. Apakah ia masih dipercaya? Anya saja kecewa padanya.

Aku memang harus menjauh saja, kan? Kalau bisa, aku pindah sekolah aja. Setelah memastikan Leana aman, mungkin dia akan memilih Anya. Jangan-jangan malah dia yang pindah sekolah.

Gerald menegak. Ada yang menyentuh punggungnya. Bersandar di sana. Kata-katanya membuat Gerald merinding.

"Gerry ... maafkan aku."

Yang TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang