18. Obrolan Dua Orang

39 7 0
                                    

Bab pengakuan ... dosa

****

Sejenak, keheningan menyelimuti semuanya, bahkan angin seolah enggan bertiup.

"Kamu ... mau membiarkan dirimu dibawa jin? Gila! Ke mana akal rasionalmu, Gerry?!"

"Uh, eh, siapa ...?"

Debur ombak tiba-tiba saja menghantam, begitu keras sampai Gerald kembali basah kuyup. Tidak hanya ia sebenarnya, anak perempuan di hadapannya juga terkena. Namun, mereka bergeming. Tak lama, suasana yang sempat mencekam berangsur normal. Matahari turun di ufuk barat. Burung camar melenguh di kejauhan. Ombak berdebur normal, angin darat berembus biasa.

"Anya ...?" Gerald memegangi pipinya. Rasa sakit akibat ditampar baru terasa.

"Ger. KAMU GILA!"

Gerald ingat, kalau Anya sudah murka, ucapannya amat keras dan tajam. Seperti sekarang.

"Apa yang bikin kamu hampir termakan? Bukankah kamu kuat? Aku tahu. Kamu kupercaya sebagai penjaga karena kamu kuat, Ger!" Suara Anya penuh kekecewaan. "Kenapa ... sekarang aku benar-benar kecewa padamu?"

"Anya ... kamu ...." Bukannya Gerald tidak mengkeret akibat ucapan Anya. Namun, perasaan aneh menyeruak di hatinya. Lega luar biasa, juga haru. Kalau tak sadar diri, ia sudah memeluk orang di hadapannya. Semua perasaan itu membuncah di hatinya, keluar lewat air matanya. "Anya, kamu menyelamatkanku ... lagi!"

"Kamu kenapa?" Suara Anya melembut. "Ceritakan semua. Apa yang membuatmu jadi lemah begini? Apa yang bikin kamu bertindak kurang ajar gitu? Kamu bilang, kamu punya alasan. Kemarin, aku belum mau mendengar. Aku pasti marah dengan apa pun alasanmu."

"Anya ... sekarang, kamu kalau ngomong, langsung panjang lebar gitu, ya."

"Jangan bercanda!" Kali ini, suaranya gemetar. "Leana belum sadar!"

Gerald menatap Anya, mencoba meyakinkan dirinya. "Dari kemarin?"

"Enggak tahu dari kapan! Kan kamu yang tahu! Aku ke sini, dia udah penuh luka begitu ...!"

Anya tampak sangat kacau. Bisa-bisa ia meledak lagi. Gerald berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Sepertinya, ia terlalu asal bicara saking leganya. Ia mundur sampai cukup jauh dari pantai, lalu duduk menjeplak. Bajunya masih basah kuyup. Perutnya keroncongan. Ia memuntahkan semuanya tadi.

Aku ngapain tadi?

"Ini."

Gerald terkesiap. Anyelir tiba-tiba menyodorkan satu minuman kemasan padanya.

"Kamu kemasukan banyak air laut dan muntah-muntah, kan? Isi perutmu sedikit." Anya menatap Gerald pasti. "Kamu pucat banget. Kamu ... hampir mati."

"Eh, ya ...." Gerald menerimanya.

"Ger. Jangan mati." Anya duduk di sebelah Gerald dan memandang kejauhan.

Gerald menelengkan kepalanya.

"Jangan mati, Ger. Apalagi pakai cara konyol kayak tadi. Nanti kami tinggal berdua." Tiba-tiba saja Anya terisak. "Aku memang kecewa sekali padamu, tapi tetap ... kami butuh kamu."

"A-apa?"

"Jadi, gimana? Kamu sanggup jadi penjaga?" Anya mengalihkan topik. "Baru setahun, lo. Efek tahun lalu itu jangka panjang. Kita enggak lagi sama. Kita bertiga."

"Iya ...." Gerald menunduk. Ia menggigiti sedotan dari minuman yang baru ia buka. Cukup membantu menenangkan gejolak di perutnya.

"Penjaga itu bukan titel sembarangan. Bukan buat sok-sokan. Bukan buat diumbar. Itu tanggung jawab besar."

Yang TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang