13. Aku Harus Berkorban

30 6 0
                                    

Ger ....

Gerry ....

Gerry!

Gerald tersentak. Ia tersadar dan linglung sesaat. Telapak tangan kanannya terasa amat sakit. Darah kering melumurinya, baret itu jelas adanya.

"Anyelir?"

Gerald tahu, ia hanya mimpi. Namun, ia mendengarnya. Suara yang amat familier meski sudah sekian lama tak mendengarnya.

"Gerald ... sudah bangun?"

Gerald terkesiap. Ingatan akan apa yang terjadi langsung menghunjam otaknya. Ia terpaku melihat sosok Leana di hadapannya. Pakaiannya amat lusuh dan robek-robek, tetapi anak perempuan itu tampak amat tenang.

"Kamu ingat, apa yang kamu lakukan semalam?"

"Semalam ...?"

Matahari menyingsing. Hari sudah pagi. Gerald melihat ufuk kemerahan di sebelah timur, nun jauh menerabas hutan. Ia teringat kewajiban yang ia lalaikan. Ia teringat apa yang ia lakukan terakhir semalam.

"Aku benci Gerald." Leana tiba-tiba bangkit. Matanya nyalang, tangannya yang menggenggam sepotong kayu menuding Gerald. "Aku mau kamu mati."

"Kamu bukan Leana!" seru Gerald. "Di mana Leana? Kembalikan dia!"

"Aku BENCI!"

Gerald berhasil menghindar kayu yang menyasar lehernya. Ia tak bisa berpikir lagi. Apa yang ia lakukan semalam, setelah keputusasaan menyerangnya? Ia tak sadar. Apa yang ia lakukan selama tak sadar?

Gerald tak mau memikirkannya. Yang ia pikirkan sekarang adalah keselamatan Leana. Ia meraba tanah di sekitar. Bagus, tali tambang itu masih di sana.

"Mati!"

Lagi, Gerald menghindar. Namun, kali ini, ia merangsek ke arah Leana. Tangannya sudah memegang tali erat-erat. Apa pun yang terjadi, rencananya harus berhasil.

Bruk.

"Lepas!" Leana meronta ketika Gerald berhasil memojokkan dan mencengkeram kedua tangannya erat-erat.

"Enggak!" balas Gerald. "Siapa pun kamu, kamu melukai Leana! Dengan tangannya sendiri! Keluar kamu sekarang!"

Suara tawa ganjil terdengar. Gerald terhenyak. Suara itu ... laki-laki.

"Aku benci Gerald," desis Leana, dengan suara aneh. "Leana juga benci kamu."

"Terus kenapa?" Gerald berusaha tak peduli meski hatinya mulai panas.

"Aku mau Leana. Kamu jauhi dia. Aku janji enggak akan melukai siapa-siapa lagi."

"Kamu mau membunuh Leana ...!"

"Dia akan bahagia bersamaku. Dia menderita bersamamu. Lepas, biarkan aku membawa Leana."

Dada Gerald naik-turun menahan emosi. Mungkin, Leana menderita. Namun, itu jauh lebih baik daripada anak itu mati mengenaskan karena sesuatu yang merasuki tubuhnya.

"Diam, kamu enggak boleh ke mana-mana." Gerald akhinya memanjangkan tali yang sejak tadi ia pegang. "Siapa pun kamu ... kamu harus disingkirkan. Jangan buat Leana tambah menderita."

Leana tiba-tiba mengamuk. Tangannya meronta dan nyaris mencolok kedua mata Gerald, tetapi Gerald mengelak. Ia berhasil memojokkan Leana ke sebuah pohon, entah bagaimana caranya. Ia melilitkan tali ke kedua pergelangan tangan Leana dengan susah payah. Anak itu terus meronta. Bukan hanya itu, jeritannya membuat Gerald benar-benar merinding. Suaranya berubah-ubah, kadang laki-laki, kadang suara Leana.

"Maaf," gumam Gerald. "Len, aku janji akan menjagamu. Tapi maaf ... aku terpaksa ninggalin kamu sekarang ini." Gerald mundur beberapa langkah. Sebenarnya, ia ingin menangis. Tangannya meraba saku celana. Ia tak menemukan yang ia cari. Gerald tambah meringis.

Yang TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang