Bel pertanda jam istirahat pertama berbunyi.
Pekan terakhir sebelum penilaian akhir semester. Anak-anak kelas 10 MIPA 4 sepakat tidak keluar kelas, hendak membicarakan sesuatu yang sudah mereka rencanakan.
Kelas 10 MIPA 4 terkenal kompak. Kelas paling solid satu angkatan dan selalu berhasil memenangkan lomba antarkelas yang diselenggarakan OSIS selama ini. Oleh karena itu, semuanya siap memprotes sekolah kalau harus berpisah saat kenaikan tingkat nanti. Masalahnya, protes siapa yang didengar kalau bukan orang yang berpengaruh bagi sekolah? Maka, satu hal dilakukan untuk menyiasati rasa kehilangan: perpisahan kelas.
"Perpisahan ... aku merasa enggak baik." Gerald mengetuk-ngetuk meja. Ia tak mengucapkannya keras-keras, karena bukan ditujukan ke satu kelas. Cukup orang di sampingnya yang mendengar.
"Aku teringat hal buruk," sahut Leana sambil bertopang dagu. "Tapi, bukan berarti nanti bakal terjadi hal buruk juga, kan?"
Gerald menghela napas. "Kamu selama ini aman-aman saja, soalnya kamu enggak mengunjungi tempat-tempat aneh. Pas anak rohis dulu ngadain tafakur alam ke gunung, tempatnya benar-benar bersih, tahu."
Leana memajukan bibirnya. Ia kesal kalau anak di sebelahnya kumat. "Jangan banggain diri sendiri. Aku aman karena bisa jaga diri."
Gerald tak menjawab. Ia menyimak omongan ketua kelas dan wakil di depan kelas. Para wali murid yang juga sudah saling kenal setuju untuk membiarkan anak-anak satu kelas berwisata beberapa hari dalam rangka perpisahan. Kelas mereka solid luar-dalam.
"Kita enggak ada panitia. Cukup perangkat kelas jadi penanggung jawab," ucap Rivan.
"Ya, nanti langsung pada ajuin aja soal usul tempat atau yang lainnya. Kalau bisa, punya sendiri. Ada yang punya vila?" sambung Hisyam.
Kelas hening. Seorang anak menunjuk tangan takut-takut.
"A-aku ada, tapi udah lama banget enggak ke sana. Terakhir pas renovasi pasca tsunami. Kami masih parno sama pantai selatan, jadi ... belum menempatinya lagi."
"Pantai Selatan?" ulang Rivan.
Yessy mengangguk ragu. "Aku bisa bilang ke Ayah, tapi tolong ... pastikan enggak ada bencana, ya?"
"Bencana?" gumam Gerald. "Terdengar mengerikan."
"Oke, opsi pertama," ujar Rivan. "Ada lagi?"
Tak ada lagi yang menyahut. Rivan mengetuk papan tulis. "Kami tunggu sampai hari Minggu. Kalau enggak ada, kami akan bicara ke orang tua Yessy."
Bel berdentang, keluhan terdengar seantero kelas. Entah mengapa, jam istirahat kali ini terasa begitu cepat. Bahkan lima menit sebelum semestinya.
"Emang bel enggak otomatis? Piketnya ngelindur, ya?" gerutu Gerald. "Aku mau jajan ngebut. Len, mau nitip?"
Leana mengangguk singkat. "Kayak biasa, ya."
Gerald sudah menghilang dari pintu kelas, pergi secepat kilat ke kantin. Leana masih bertopang dagu di mejanya. Ingatannya menyusun aneka kejadian lalu.
Hampir setahun. Kurang sebulan lagi sampai peringatan satu tahun hari itu tiba. Hari ketika Leana paham kebodohannya. Ia membuat dirinya sendiri dan satu angkatan SMP-nya terlibat dalam satu kejadian mengerikan. Kejadian paranormal yang sulit dinalar. Yang membuatnya kepikiran sampai sekarang adalah eksistensi tiga temannya menghilang seolah mereka tak pernah ada sebelumnya. Selain itu, hanya ia dan dua temannya yang mengingat semua kejadian ganjil saat itu, sisanya seperti tak pernah mengalaminya. Leana merasa, hal itu berarti masih ada masalah yang belum usai. Apakah ia pindah universe? Apakah ini bukan kehidupan yang sebenarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Terikat
Paranormal[COMPLETED] [Other Side Series#2] [R15+] [Sekuel The WIP] Bagi Leana, peristiwa tahun lalu sudah usai. Tak ada lagi keanehan, apalagi yang menyangkut makhluk astral. Namun, Gerald sesumbar itu karena dirinya. Leana akan dalam bahaya kalau tidak bera...