17. Sang Penyelamat

32 4 0
                                    

Bab ini sama sekali tidak ada tendensi untuk self-harm atau suicidal.
Terus ngapain saya kasih peringatan ini coba?

Selamat membaca.

****

Tadi malam ada rapat. Rapat untuk menentukan soal apa yang harus mereka lakukan setelah ini. Sebagian besar anak akan pulang hari ini, siap dijemput orang tua mereka. Segelintir sisanya akan tetap di sana, meski Gerald memohon-mohon supaya mereka pulang saja.

"Nope, Ger. Kalau kamu belum mau pulang, aku bakal tetap di sini, nungguin kamu balik. Pasti karena Leana, kan?" terka Rivan.

"Iya ... tapi, enggak cuma itu!" seru Gerald. "Kalian bisa dalam bahaya kalau sama aku terus."

"Dan membiarkan kamu kena bahaya sendiri?" Hisyam bersedekap.

"Aku juga masih di sini," ungkap Yessy. "Meski kalau malam hawanya jadi aneh ... anginnya kencang dari semalam. Mungkin ada siklon."

"Aku juga," timpal Thia dan Diar.

"Nah, kami berlima udah sepakat mau tetap di sini sampai masalahmu selesai," ujar Rivan. "Kamu urus masalahmu, kami mau liburan. Selow."

Gerald tak sanggup membantah. Kalau memang mereka keras kepala, ia bisa apa? Gerald hanya mampu menarik napas dalam-dalam, membuang semua emosinya sebelum menjawab. "Terima kasih."

Meski begitu, tetap saja Gerald menjauhi vila. Sebisa mungkin, mereka jangan sampai terlibat.

Siang ini, Gerald berjalan ke kampung. Semua tampak normal. Ia bahkan sempat bercakap-cakap lagi dengan Asti. Gerald iseng menanyakan soal "penampakan" yang tempo hari dibahas. Asti berkata, tak ada yang mengaku melihatnya lagi. Kampung mereka tenang.

"Sampai kapan di sini, Dek?" tanya Asti.

"Beberapa hari lagi," sahut Gerald. "Kenapa?"

"Enggak papa. Jajan es kelapa lagi, dong. Seger."

Mau tak mau Gerald tertawa. Ia berkata akan menyampaikannya pada teman-temannya yang lain. Tak lama kemudian, ia melihat beberapa mobil yang ia kenali lewat. Tampaknya, sebagian teman sekelasnya sudah dijemput.

Setelah pamit pada Asti, Gerald kembali ke vila. Saat itu ramai karena ada beberapa wali murid. Ia ikut bercengkerama beberapa saat, tetapi hatinya sungguh tidak tenang. Gerald tak bisa berlama-lama dengan mereka. Ia khawatir sesuatu yang buruk lagi-lagi terjadi.

"Sampai jumpa lagi nanti di sekolah!"

Tinggallah enam orang itu di sana. Gerald ikut pamit.

"Ke mana?" tanya Rivan.

"Pantai aja. Oh, kalau kalian mesen es kelapa, titip ya."

Gerald tahu, ia tak boleh membuat teman-temannya cemas lagi. Maka, ia hanya berjalan di sepanjang pesisir yang mungkin tampak dari vila. Serbasalah. Kalau dekat-dekat vila, ia cemas kejadian seperti semalam akan berulang. Kalau menjauh, perasaan takut menghantuinya.

Apa ini cuma firasat buruk?

Gerald sebenarnya penasaran. Ke manakah Anyelir membawa Leana? Ia tak berani mengontak anak itu. Anyelir jelas marah besar padanya. Gerald iseng mencari-cari hotel yang mungkin ada di dekat sana. Rupanya, ada sebuah hotel berbintang kira-kira dua kilometer dari tempatnya berpijak.

Anyelir bawa Leana sampai sana? Sakti betul. Eh, enggak tahu ah.

Gerald masih memandangi ponselnya sampai tiba-tiba sinyalnya menghilang. Perasaan buruk seketika menghantui, apalagi ditambah angin yang tiba-tiba berembus kencang. Awan mendung nun di ufuk tampaknya menjadi pertanda. Mungkin, hari ini akan ada badai.

Yang TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang