HMH || Part 15

1.4K 89 3
                                    

Harsa membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Merapikan seperti awal mula ia datang. Kali ini ia harus pulang malam karena harus menyelesaikan beberapa berkas yang sedikit bermasalah, jika tidak diselesaikan mungkin akan menghambat proses kerja sama dengan perusahaan tersebut.

Di kantor tersisa hanya 3 orang yang ia minta untuk lembur. Mungkin sekarang tinggal Ilham yang masih berada di sini, 2 orang lainnya Harsa menyuruhnya untuk diselesaikan di rumah saja karena ini sudah malam apalagi mereka wanita takut tidak ada angkutan umum yang membawa mereka pulang.

Saat Harsa keluar dari ruangannya, kebetulan sekali Ilham sudah siap untuk pulang. Sebenarnya ada yang ingin Harsa sampaikan pada Ilham namun dari tadi ia tidak ada waktu hanya untuk mengobrol dengan dia.

"Ham, jangan dulu pulang. Gue mau ngomong sekalian minta pendapat." Tanpa menunggu persetujuan dari temannya. Harsa menarik kursi di meja yang berdampingan dengan meja milik Ilham. Ia mendudukinya lalu mengisyaratkan lewat matanya pada Ilham untuk duduk kembali.

Ilham menghela napas dia pun menuruti perintah Harsa. Padahal Ilham sangat ingin pulang mengistirahatkan tubuh yang penat. Mata yang kelihatan sekali Ilham tengah menahan kantuk. "Cepet elah. Gak tau apa mata gue udah 5 what nih!"

Harsa berdecak, "Tahan bentaran, baru juga jam setengah sepuluh."

"Kenapa lagi sih lu? Bukannya lamarannya udah diterima. Heran tiap hari ada aja masalah. Kurang sedekah pasti!"

"Sialan! Kerjaan lo suudzon mulu sama gue. Emang setiap gue sedekah harus laporan dulu sama lo supaya percaya kalau gue sedekah?"

Ilham nyengir sambil menggelengkan kepala. "Ya, nggak gitu juga."

Harsa mengambil napas lalu duduk dengan tegap menatap serius pada lawan bicaranya. "Lo tau 'kan lamaran gue udah diterima?"

"Tau. Terus hubungannya sama gue apa?" jawab Ilham dengan malas. Sungguh Ilham ingin segera pergi dari  tempat ini. Tetapi jika dilakukan pasti Harsa akan marah, dan mungkin saja gajinya akan dipotong.

"Tentu lo punya hubungan dengan masalah ini." Harsa menjentikkan jari. Dalam keadaan serius seperti sekarang mata Harsa selalu membulat sempurna sampai Ilham agak merinding. Sementara Ilham menautkan alis tidak paham maksud dari penuturan Harsa.

"Lo harus bantuin gue buat acara lamaran gue nanti. Tiga hari lagi semua udah siap dan gue nggak mau tau lo harus mempersiapkan sebagus mungkin."

Ilham terkejut bukan main. Masih dalam keadaan syok dia menganga lebar, setelah itu Ilham menggeleng cepat. "Kenapa harus gue? Kan ada EO yang ngurusin masalah beginian. Dia lebih profesional ketimbang gue."

Harsa mengangguk paham. Memang betul apa yang barusan Ilham bilang. Tapi ia yakin Ilham bisa mengurus semua acara nanti yang akan dilaksanakan. Harsa menunjuk Ilham bukan tanpa alasan, karena dulu ia pernah melihat hasil kerja keras Ilham saat membantu salah satu temannya dalam acara lamaran, hasil dekorasi yang memang Harsa akui itu memang sangat bagus. Maka dari itu ide terlintas untuk menjadikan Ilham sebagai penanggung jawab dan dibantu EO.

"Jadi lo nggak mau?" Harsa mengulangi pertanyaannya.

"Jelas kagak mau!"

"Yah, padahal tadi gue mau ngasih bonus dan bayar lo gede kalau lo mau bantuin gue."

Seketika Ilham melotot, ingat kata pepatah rezeki jangan ditolak. Tanpa pikir panjang Ilham menyetujuinya.

"kalau kayak gini gue mau!"

••••

"Ateu mau nikah ya sama om good?" Eca bersuara lalu menutup pintu kamar yang masih terbuka setengah, belum sepenuhnya tertutup rapat. Anak kecil itu ikut naik ke kasur bersama Dara.

Tentu saja kedatangan ponakannya itu cukup membuat Dara terheran. Pasalnya ini bukan waktunya mereka mengunjungi rumah ini.

"Loh kamu kok ada di sini? Tumben nggak ngabarin dulu." tanya Dara.

"Eca juga nggak tau. Tapi kata mamah mau nginep lagi beberapa hari."

Dara hanya mengangguk-angguk. Lantas ia pun melanjutkan kegiatannya berselancar di media sosial. Setelah tadi ia telah selesai menonton drakor. Dari tadi siang cuaca seperti sedang mempermainkan, kadang hujannya berhenti kemudian tiba-tiba kembali lagi hujan. Maka dari pagi hingga menjelang sore Dara belum keluar dari kamarnya.

"Ateu mau nikah ya sama om good?" Eca mengulangi pertanyaannya.

Dara mengalihkan pandangannya lalu menatap Eca dengan alis terangkat. "Om good?"

"Yang dimaksud Eca itu harsa." Hanin menyahuti dan ikut duduk di samping ranjang. Dara langsung bangun dari tidurnya. Menatap kedua orang dihadapannya silih berganti. Ia masih tidak paham bagaimana Eca memberi panggilan seperti itu. Ini terkesan agak aneh baginya.

Dara mengangguk dengan kaku sebagai jawaban dari pertanyaan Eca tadi. "Kok bisa sih, kamu ngasih nama kayak gitu? Kenapa nggak om Harsa aja?"

"Karena Eca mau. Om-nya baik. waktu itu pernah beliin mainan yang Eca mau." balas Eca. Dara jadi paham mendengar cerita dari Eca. Pertemuan mereka memang tidak disengaja. Pada saat itu Eca merengek meminta dibelikan mainan, namun ia tolak. Dan kebetulan Harsa sedang berada di mall yang sama. Pria itu mendengar percakapannya. Harsa langsung membelikan apa yang Eca mau, walaupun Dara sudah bersikeras tetap saja Harsa membelikannya.

"Harus banget manggil om good? Kenapa nggak om baik aja?"

"Biar keren!"

Hanin terkekeh pelan sambil mengelus perut buncit melihat kelakuan anaknya itu. Begitu mengatakan Eca langsung ke luar dari kamar Dara. Tinggallah Hanin dan dirinya.

"Teh emangnya Mas Chandra lagi ke luar kota ya?" tanya Dara yang masih penasaran kenapa Hanin tiba-tiba saja sudah ada di rumah. Biasanya Hanin pasti mengabari Dara terlebih dahulu.

"Enggak. Mas Chandra lagi ada di bawah ngobrol sama ayah."

"Hah?"

"Kamu kenapa sih? Teteh datang ke sini tuh mau bantu acara lamaran kamu. Tiga hari lagi acaranya."

Dara terkejut. Ia bahkan tidak tahu bahwa lamarannya sudah ditentukan waktunya tanpa ia ketahui. Pria itu tidak mengabari sama sekali dan tidak membicarakan hal ini dengannya. Dara merasa tidak punya andil dalam hal ini, padahal ia juga berhak tau. Dara benar-benar kecawa pada Harsa. Pria itu dengan seenaknya melakukan tanpa persetujuan darinya. Tiba-tiba dalam hati kecilnya berkata, apa yang dilakukan ini sudah benar?

Dara jadi agak ragu menerima keputusan pria itu. Belum juga apa-apa ia malah seenaknya sendiri. Padahal memikirkan lamaran pria itu cukup menguras pikirannya. Setelah yakin dan matang menerima lamarannya. Pria itu malah mengecewakan Dara.

••••

TBC.

Maaf ya kalau part ini kurang memuaskan. Sibuk ngerjain tugas sampe lupa buat nulis

Tenang, meskipun lama update aku bakal tetap lanjutin cerita ini sampai tamat. Jangan bosen buat nungguin ya


Hi, My Husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang