HMH || Part 02

2.1K 129 1
                                    


Malam ini hujan deras mengguyur kota Bandung. Suara petir yang menggelegar membuat wanita itu terbangun dari tidurnya lalu beranjak menuju meja kerja. Dara termenung sambil menopang dagunya di meja, sekilas kenangan bersama Arya kembali terlintas dipikiran nya.

Dimana saat itu Dara sangat-sangat bahagia ketika bersama pria itu, tidak ada kesedihan saat bersamanya, Arya selalu membuat Dara tertawa melupakan semua masalah yang dialaminya.

Namun kali ini ia tersadar, lelaki itu tak pantas lagi bersamanya, mengingat semua perbuatannya kemarin membuat Dara sangat membencinya tak ada lagi rasa cinta yang selama ini ia berikan yang ada rasa kecewa kepada lelaki itu.

Dara menghela nafas berat, menatap nanar pada meja kerjanya, dia sangat rindu. Di mana tempat ini yang membuatnya selalu begadang, menyelesaikan semua berkas-berkas yang dikirim oleh atasannya, sampai rasanya pusing gak ketulungan mengingat hal itu.

Dara tersentak mendengar bunyi telepon miliknya yang di simpan di naskas. Dara bangkit dari duduknya lalu mengangkat panggilan tersebut.

"De, kamu belum tidur?" ucap seorang perempuan diseberang sana.

"Belum, Teh. Ada apa? Tumben malem-malem nelepon?"

Terdengar suara decakan diseberang sana. Dara tau kakaknya ini mungkin tengah khawatir padanya. Tentang semua masalah ini Dara hanya mampu menceritakan nya pada Hanin––kakaknya ia belum berani cerita pada Ibu dan ayahnya. Dari dulu sampai sekarang Hanin lah yang sering menjadikan tempat curhat terbaik selain ibu dan ayahnya. Meski sekarang mereka tidak serumah lagi karena Hanin sudah tinggal bersama keluarga kecilnya di Jakarta. Sebulan sekali Hanin dan anaknya selalu datang ke Bandung untuk mengunjunginya.

"Cuma iseng aja sih, kirain udah tidur."

"Tadi kebangun, Teteh sendiri kenapa belum tidur? Padahal ini udah jam 12 lebih, Mas Chandra emangnya belum pulang?"

"Udah, Sekarang lagi nemenin Mas Chandra nyelesaiin berkas yang belum selesai, sekalian nonton drakor."

"Teh, soal masalah Dara di PHK jangan dulu bilang ke Ayah sama Mamah, ya? Dara takut, kalau Mamah nanti kepikiran nantinya jadi sakit."

"Iya, Teteh gak akan bilang. Tapi, De, lambat laun juga pasti mereka tau."

Dara menghela nafasnya, betul apa yang di katakan Hanin barusan. Secepatnya ia akan mengatakan semuanya nanti.

"Iya bener, Dara jadi bingung gimana nanti ngomongnya."

"Gak usah dipikirin, yang jelas kamu sekarang istirahat. Teteh gak mau, ya, kamu jadi sakit gara-gara ini."

"Iya, yaudah Dara tutup ya? Takut ngeganggu Teteh yang lagi pacaran sama Mas Chandra."

"Mana ada! yang ada Mas Chandra lagi pacaran sama laptopnya, Teteh di kacangin dari tadi." Dara tertawa mendengar suara Hanin yang terlihat kesal pada suaminya itu.

"Jangan ketawa! Teteh tutup ya telpon nya? Mas Chandra pengen di buatin dulu mie."

Sambungan telepon terputus, Dara menghela nafas panjang kemudian ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamar. Perkataan Hanin barusan membuatnya kepikiran. Dara takut nanti orangtuanya sedih pasalnya beliau sangat senang dan bangga ketika Dara mendapatkan pekerjaan ini waktu itu dan sekarang dirinya di PHK apa mungkin mereka akan kecewa?


••••


Seperti biasa Dara pagi-pagi sudah rapih dengan setelan yang biasanya di pakai untuk pergi ke kantor. Meski kenyataan Dara sudah tidak lagi bekerja, ia terpaksa melakukan ini agar orangtuanya tidak curiga dengannya.

Dara juga tidak tinggal diam membiarkan dirinya menganggur terlalu lama. Hari ini, ia akan mencoba melamar ke beberapa tempat perusahaan di kota ini. Dara berharap semoga ia diberikan pekerjaan secepatnya.

"Loh, Dar. Udah siap aja, baru juga jam 6," sapa Dewi ketika melihat anaknya turun dari tangga, lalu ia pun berjalan ke dapur untuk melanjutkan acara masaknya.

Sebelum menjawab Dara menyimpan dulu tasnya di meja makan, lalu mengikuti langkah ibunya ke dapur.

"Biasa, lagi datang sifat rajinnya." jawab Dara berdiri disamping ibunya yang tengah menggoreng cireng sebagai cemilan di pagi hari.

"Preeet! semua kerjaan mamah yang ngerjain, kalau iya rajin udah dari subuh kamu bantuin mamah. Ini mah cuci piring, nyapu, ngepel semuanya mamah yang ngerjain!" Dara terkekeh melihat Dewi mengomeli dirinya. Sudah tak heran bagi Dara mendengar ibunya marah-marah di pagi hari. Salah Dara juga si yang jarang membantu pekerjaan rumah, paling hari minggu, itu pun kadang-kadang.

"Ini 'kan sekarang Dara mau bantuin mamah." Ibunya langsung memberi tatapan mematikan, Dara yang melihatnya pun bergidik ngeri.

"Telat! udah beres juga! Di sini juga kamu cuma ngeliatin mamah aja dari tadi!" Serba salah yang kini Dara rasakan. Dara menggaruk kepala, bingung mau ngapain. Cuma diam yang bisa ia lakukan agar ibunya berhenti mengomel.

"Ngapain masih di sini? udah sana duduk di meja aja!"

Sebelum pergi Dara mengambil satu cireng yang baru saja di letakan di piring.

"Ahh, panas!" teriak Dara lalu meletakkan kembali cireng itu sambil meniup tangan kanannya terasa panas akibat mengambil cireng yang baru saja di angkat dari penggorengan.

"Rasain! Udah tau masih panas malah diambil," Dara mengerucutkan bibirnya. Ia pun melangkah dari sana, sebelum ibunya kembali mengamuk.

Dara tadinya ingin menonton televisi sambil menunggu masakan ibunya jadi, namun urung melihat sang Ayah kini tengah duduk di halaman depan dengan di temani koran yang sudah menjadi hobinya membaca di pagi hari setelah pensiun sebagai pegawai negeri sipil. Sudah setengah tahun Ayahnya tidak bekerja––hanya berdiam di rumah sambil berkebun sebagai kegiatan saat beliau bosan. Halaman belakang kini di penuhi oleh tanaman cabe, tomat, daun bawang sayur-sayuran seperti kangkung dan bayam merah, semua itu Ayah yang lakukan. Ibunya tidak perlu lagi membeli cabe di tukang sayur, jika dia butuh tinggal memetiknya di belakang. Bahkan jika ada yang meminta Ayahnya dengan suka rela memberikan kepada tetangganya.

"Ayah lagi apa nih?" sapa Dira kemudian ia duduk di kursi. Ia mengambil kopi milik Ayahnya lalu menyeruputnya dengan nikmat.

Indra berdecit melihat kopi miliknya tinggal sedikit lagi dan tanpa dosanya Dira hanya menyengir melihat Indra menatapnya datar.

"Kamu gak liat ayah lagi apa?" Indra kembali fokus pada koran dihadapannya. Dira terkekeh pelan lalu menggaruk tengkuknya. Bodoh sekali Dira ini sudah tau Ayahnya tidak suka basa-basi malah menanyai hal yang menurut Dira tidak perlu dipertanyakan.

"Ceilah basa-basi doang, Yah."

"Pertanyaan kamu itu tidak bermutu." Dara mengatupkan bibirnya sembari memutar bola matanya. Selalu saja seperti itu lempeng kek triplek, hidupnya terlalu serius menurut Dara.

"Gimana pekerjaan mu? Lancar?" tanya Indra sembari melipatkan koran lalu meletakkan di meja. Menatap Dara dalam.

Dara membulatkan matanya lalu dengan sekejap ia rubah mukanya setenang mungkin. "A-aman kok, Yah. Tenang aja."

Indra mengangguk seraya berkata, "Syukurlah."

Dara bernafas lega, percayalah berbohong itu tidak enak apalagi ia harus berbohong dengan orang tua sendiri. Tidak ada cara lain selain ini Dara pun belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Makanannya sudah mateng! Ayah, Dara, sini buruan makan!" teriak Dewi di dalam membuat Indra dan Data tersentak kaget mendengar suara yang menggelar, sudah dipastikan kupingnya berdengung. Dara meringis lalu menatap Indra yang kini tengah menatapnya, keduanya terkekeh pelan lalu segera beranjak sebelum Dewi kembali berteriak.

••••

TBC

Semoga suka.

Janlup vote & Coment yaa!!!

Seeuu.

Hi, My Husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang