Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, tak heran mereka sering menjadi target kejahatan yang dilayangkan orang-orang tak bertanggung jawab.
Tak terkecuali dengan Rania Mahendra, gadis 17 tahun yang harusnya hidup dalam selimut kebahagiaan d...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selagi menunggu Renata mengganti pakaian di kamar mandi, Devan mengeluarkan ponselnya dari balik vas.
"Lowbat?" gumam Devan saat ponselnya tak kunjung menyala.
"Ka,"
Devan menoleh, dilihatnya Renata yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan hoodie abu-abu muda dan celana chino cokelat susu. Terlihat cocok dan pas melekat ditubuh mungil itu.
Jika biasanya si pemeran utama akan di puji oleh lawan jenisnya karena penampilanya, tapi Devan berbeda dengan laki-laki dicerita seperti itu. Ia jarang, bahkan hampir tidak pernah memuji perempuan manapun. Termasuk ibunya sendiri, jadi jangan heran.
"Ayo!"
Devan melangkah keluar terlebih dahulu disusul Renata. Berkali-kali gadis itu berusaha untuk mensejajarkan langkah mereka, tapi gagal karena Devan mengambil langkah yang terlalu panjang dan cepat. Mungkin karena faktor kaki Devan yang lebih panjang, tidak seperti kakinya yang pendek.
"Ngh!"
Terdengar suara orang mengeluh pelan, membuat Devan melirik kearah Renata sekilas. Sepertinya gadis itu terlihat kesulitan mengikuti dirinya.
Merasa diperhatikan membuat Renata menoleh, meski sedikit kesusahan dengan kakinya tapi ia masih sempat tersenyum kearah laki-laki itu.
"Aku nggak papa kok, kakak nggak usah khawatir." ucapnya dengan mata bulan sabit, Devan hanya mengangguk tanpa memperlambat gerakan kakinya.
Heh? Kenapa malah makin cepet?Aa... kenapa nggak kaya di film-film. Rengeknya.
Keduanya sampai didepan mobil sedan hitam, Devan langsung masuk kedalam. Berbeda dengan Renata yang tetap diam ditempat, menatap Devan dari balik jendela dengan penuh harap.
"Masuk!" ketus Devan ketika jendela mobil turun perlahan.
Renata tersentak kaget, dia mengerjap beberapa kali kemudian mengangguk.
"Eh? I... iya,"
Renata duduk tepat disamping kursi kemudi, setelah memasang seatbelt mobil itu segera meluncur bebas membelah jalanan kota yang terlihat padat merayap.
Ternyata nggak kaya di film-film ya.
Eh lupa, ini kan kehidupan nyata.Tapi boleh kan berharap ada yang peduli, walaupun cuma dikit.
Argh! Stop halu Ren, lagian mana mungkin ka Devan peduli sama lo. Ingat dia itu cuma iba, nggak lebih. Monolognya.
Tanpa gadis itu sadari, sejak awal Devan terus memperhatikan setiap ekspresi yang ditampilkan olehnya. Tidak ada yang bertahan lama, masing-masing ekspresi hanya mampu ditunjukan selama beberapa detik saja. Selanjutnya diganti oleh ekspresi senang, kecewa dan entah Devan tidak tau apa namanya.