Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
INI perasaan gue doang, atau makanan di rumah Paklik Parwoto selalu variatif. Terlalu variatif. Entahlah, gue nggak tahu ini menu sehari-hari atau ocassional hanya karena keluarga gue menginap di sini. Sejak kami datang selalu disuguhi makanan utama 3x dan camilan 2x sehari dalam jumlah besar.
Nggak ada yang salah dengan itu. Memuliakan tamu memang adab, tetapi gue rasa porsinya berlebihan. Mulai dari bakso lengkap, sate ponorogo, gulai, pepes, ikan bakar, capcay, sup, bahkan tadinya Bulik Mita menyuruh salah satu ART bikin kepiting asam-manis. Untungnya nggak jadi karena Mama melarang baik-baik.
Belum lagi sekeranjang buah, jus, eskrim, dan es campur. Sebanyak ini setiap makan bersama untuk tujuh orang, siapa yang harus menghabiskan? Mubazir. Mungkin tanpa sepengetahuan gue, setelah ini sisa makanan dibagikan untuk para ART dan tukang. Still, I think this is too much. Lihat meja makan penuh begini gue eneg duluan.
Makan malam ini beda jauh dengan makan siang gue di rumah si medok itu.
Di sana, gue makan hanya dengan sayur bayam, tempe goreng, dan wader krispi. Minum es teh. Oh, plus sambal tomat segar. Gitu doang. Anehnya gue lebih banyak makan di sana daripada di sini. Karena gue laper habis keliling kampung kali ya. Mana habis makan dan berterima kasih, gue langsung pergi gitu aja.
Seharusnya gue bisa mengenal keluarga mereka walaupun sebentar. Gue sadar gue tamu yang kurang ajar.
"Mas Liam habis lulus mau ngapain?" Tiba-tiba Bulik nanya ke gue pada sesi table talk setelah makan malam.
"Kuliah, Bulik," jawab gue.
"Kuliah apa, Mas? Di mana? Pacarnya ditinggal, tho?" tanya Syakira, putri bungsu Paklik dan Bulik. Gue hanya meringis karena ogah menjawab, apalagi pertanyaan terakhir.
"Belum tahu, ini lagi apply ke salah satu universitas. Minta doanya saja ya, Sya, supaya diterima." Mama yang menjawab dengan ramah seperti biasa. Tahu banget gue malas berbasa-basi. "Syakira sendiri gimana setelah lulus?"
"Syakira juga kuliah, tapi sebelum itu insya Allah menikah dulu, soalnya sudah dipinang, Mbakyu," jelas Bulik tertawa kecil, sementara Syakira menunjukkan cincin di jari manis tangan kanannya.
Mama terbelalak. "Oh, gitu? Apa ndak sebaiknya fokus kuliah dulu, Dek? Syakira juga masih kecil."
"Ndak apa-apa, Mbakyu. Delapan belas tahun itu sudah dewasa, lho. Justru kalau Syakira sudah nikah saya merasa aman, Mbakyu. Syakira ndak akan terjebak pergaulan bebas. Ada suaminya yang njaga. Fokus kuliah pasti juga bisa," jelas Bulik yakin, lalu dengan antusias menceritakan tentang calonnya Syakira, putra sulung juragan desa sebelah.
Gue menyimak tapi nggak tahan untuk nggak nyinyir dalam hati.
Fokus kuliah sambil menikah? Di usia 18? Bullshit.
Apalagi modelan Syakira. Dia ini sepupu jauh gue yang fortunately, was born with a silver spoon in her mouth. Paklik adalah juragan terkaya dan terpandang di Sekartaji, yang hampir selalu bersedia memenuhi keinginan anak-anaknya. Gue nggak heran Syakira sering berlagak bak princess kisah romansa halu. Dia manja. Banget.
Kalau dia nekat kawin di usia segitu dengan tabiat yang masih seperti itu, gue hanya bisa bilang good luck with that.
"Di sini habis lulus sekolah lalu nikah itu sudah biasa, tho, Mbakyu. Apalagi banyak yang ndak mampu kuliah. Kalau anak perempuan sudah menikah sama laki-laki yang mampu, orang tua lega karena sudah ada yang bisa njagain," terang Bulik, karena Mama tampak syok melihat keseriusan rencana pernikahan Syakira.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Adorable Sister (MAS)
Teen FictionMereka Bilang, Aku Kemlinthi (MBAK) dengan POV orang pertama cowok. *** Delapan belas tahun gue hidup ya gitu-gitu doang, sampai hari itu ortu gue memutuskan untuk membawa satu cewek paling ndeso, paling medok, paling sotoy, paling telmi, dan paling...