Yang kangen Mail ramaikaan~
Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
Sri Kemlinthi
Mas, jadi datang, tho?
Aku ndak punya supporter, kalau Mas mau datang jadi supporterku, boleh nguyel-uyel mukaku sepuasnya nih, aku pasrah, ndak akan marah.. ciyus 🥲🙏MEMBAYANGKAN Sri memohon di depan gue seperti emoji itu—dengan tangan terkatup dan air mata menitik—satu sudut bibir gue ketarik naik.
Nggak usah dia minta juga gue pasti datang. Waktu gue di sini tinggal seminggu lagi, dan sebisa mungkin ingin gue habiskan dengan keluarga, termasuk Sri. Kalau diingat lagi, dulu gue-lah yang paling keras menentang kehadiran dia di sini. Mirisnya, sekarang gue yang jungkir-balik suka sama dia. Karma does exist.
At least, karma yang manis dan gue menyukainya.
Setelah mengetik balasan, gue menghubungi Rangga dan Anggun, lantas beranjak dari ranjang dan bergegas mandi.
***
"Kak Liam! Kak Rangga! Kak Anggun! Sini, Kak!"
Ingar bingar musik dan seruan penonton di dalam GOR Soemantri Brodjonegoro memaksa gue menajamkan mata dan telinga. Panggilan Lisa membuat gue menoleh dan segera menghampiri rombongan mereka di bawah tribun kanan. Gue mengernyit karena—
"Sri mana?" Anggun celingukan sambil menyuarakan pertanyaan gue. Cuma Lisa, Claudia, dan beberapa teman mereka dari sekolah lain.
"Dia numpahin kopi orang, Kak. Nggak sengaja, sih. Lagi antre buat gantiin, kita janjian kumpul lagi di sini."
Gue berdecak mendengar penjelasan Claudia. Dasar sembrono. Segera gue hubungi ponsel Sri yang untungnya langsung tersambung.
"Lo di mana?" Gue mengedarkan pandang dengan ponsel merapat di telinga.
"Apa, Mas? Di sini ramai, ndak kedengaran!"
"Lo—" Percuma gue teriak, bagaimana pun di sini memang penuh suara. Gue memutuskan sambungan dan memilih menyusuri booth area yang ditunjuk Claudia.
Mata gue memindai cepat satu-persatu booth, hingga sekian menit kemudian menemukan cewek itu di booth paling ujung. Dia mengantre sambil ngobrol bersama seorang cowok dengan noda basah kecokelatan di kemeja depannya. Gue pikir memang aneh, kalau Sri nggak sengaja menumpahkan kopi, seharusnya cukup diganti uang saja. Kenapa sampai ditemani beli segala?
Karena itu cowok, Bung.
Gue masuk di antrean paling belakang yang hanya berjarak dua orang dari mereka. Bahkan percakapan mereka bisa gue dengar.
" ... adek bukan orang sini, ya? Logatnya beda."
Gue mendelik. Woy, buset. Siapa lo seenak jidat manggil dia 'adek'?
"Bukan, Mas, saya dari Jatim," jawab Sri, yang selalu clueless bahkan ketika dimodusi.
Kuping gue makin gedeg mendengar pertanyaan basi selanjutnya. "Oh, ya? Ayah saya juga dari Jatim, Surabaya. Adek dari mana? Namanya siapa?"
"Saya Sri—"
"Namanya Mei Mei, Mas, dari Kampung Durian Runtuh."
Gue maju lalu menepuk kepala Sri dari belakang. Cowok berkacamata itu melebarkan mata. Sri menoleh gue dengan mulut menganga.
"Mas Li—"
"Saya Mail." Gue mengulurkan tangan lain di depan si cowok basi yang kemudian menjabat gue dengan raut bingung. Gue tersenyum lebar. "Ismail bin Mail. Saya satu sekolah sama Mei Mei di Tadika Mesra."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Adorable Sister (MAS)
Teen FictionMereka Bilang, Aku Kemlinthi (MBAK) dengan POV orang pertama cowok. *** Delapan belas tahun gue hidup ya gitu-gitu doang, sampai hari itu ortu gue memutuskan untuk membawa satu cewek paling ndeso, paling medok, paling sotoy, paling telmi, dan paling...