Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
KEDATANGAN para guru yang mengelilingi kami membuat gue melepaskan Sri. Dia lemas dan nyaris jatuh sebelum gue menahan kedua lengannya. Para guru akan membawa dia, namun gue meminta sedikit waktu. Gue membalikkan tubuhnya hingga kami berhadapan.
"Kamu nggak papa? Ada yang sakit? Ada yang luka? Bisa jalan sendiri?" Tangan gue buru-buru merapikan rambut hancur Sri sekenanya. Gue memindai cepat kedua lengan, leher, lalu wajahnya. Ada goresan merah menyala di rahang kanan, tetapi dia menepis keras waktu mau gue sentuh.
"Aku nggak papa, Mas."
Begitu saja, dan Sri menunduk saat para guru menggiringnya bersama si cewek lawannya ke ruang BK, diikuti dua anak lain yang ditunjuk sebagai saksi untuk menjelaskan kronologi. Mereka meninggalkan gue yang terpaku di tempat. Gue memejamkan mata dan mengembuskan napas. Nggak ada yang bisa gue lakukan selain menunggu, tetapi gue juga nggak bisa tenang selama itu.
***
Derit samar pintu ruang BK yang dibuka dari dalam membuat gue beranjak dari bangku koridor ruang guru. Hanya Andra dan Lisa yang keluar. Pikiran gue makin kacau. Ah, apa yang gue harapkan, sudah pasti Sri ditahan lebih lama di sana. Seakan paham bahwa gue menunggu, Andra dan Lisa mendekati gue.
"Kak, gue bener-bener minta maaf—"
"Gini, Kak," potong Lisa dengan mengangkat tangan di depan Andra. "Gue, Sri, dan Claudia satu kelompok buat TA kesenian pengganti UAS. Ya awalnya salah gue juga langsung masukin nama Sri tanpa minta persetujuan dia, karena gue pikir siapa lagi yang bakal sekelompok sama dia kalau bukan gue sama Clau?"
Gue mengernyit. "Kenapa lo mikir gitu? Dia nggak cari kelompok sendiri?"
"Boro-boro! Lo nggak tahu, Kak, sejak dia habis sakit itu, Sri jadi kayak patung batu di kelas. Dia bener-bener nggak peduli sama sekitarnya! Either way, dia pasti dimasukin kelompok gue juga sama Pak Haris, karena satu-satunya yang kurang anggota ya kelompok gue. Jadi sebelum itu gue sendiri yang masukin dia."
"Tapi nggak seharusnya Clau sama Sri sampai baku hantam gitu, Lis. Lo atau Clau bisa kasih tahu gue dari awal," sesal Andra.
"Ya mana gue ngerti mereka bakal begini, Andra!" tepis Lisa tajam. "Lagian kalau lo tahu lo mau apa? Lo bisa apa?"
"Banyak! Gue bisa coba kasih pengertian ke dia, atau diskusi sama orang terdekat dia misalnya—" Andra menoleh gue, "—misalnya Kak Liam." Dia kembali ke Lisa. "Seenggaknya gue mau apa yang Sri pikirkan tentang kita tersalurkan dengan baik, bukan dipendem lama dan akhirnya meledak-ledak di depan semua orang kayak tadi."
"Udah, Ndra. Udah kejadian, nggak ada gunanya nyari siapa yang salah. Introspeksi dan jadiin pelajaran aja buat kedepan." Gue menengahi.
"Gue tetep nggak enak sama lo, Kak. Sorry banget."
Gue tersenyum tipis menatap mereka bergantian. "So, that's it? Sri marah karena dia nggak mau TA berkelompok?"
"Iya, dan nggak cuma itu, sih, Kak," jawab Lisa, sesaat menggigit bibir dan mengalihkan mata dari gue. "Gimana, ya? TA kita ini ngeband gitu, Kak. Harus ada minimal satu vokalis dan satu instrumen. Gue sama Clau nggak bisa nyanyi, yang kita bisa keyboard sama gitar. Artinya kita cuma belum punya vokalis. Dan Sri nggak bisa main instrumen, jadi maksud kita, seenggaknya dia coba nyanyi lah. Tapi waktu kita sampaikan, dia tersinggung dan akhirnya ngamuk, karena ... yah ...."
"Karena?" kejar gue, melihat keraguan Lisa.
"Karena, dia sadar kalau dia ... ehm, medok. Sorry, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Adorable Sister (MAS)
Teen FictionMereka Bilang, Aku Kemlinthi (MBAK) dengan POV orang pertama cowok. *** Delapan belas tahun gue hidup ya gitu-gitu doang, sampai hari itu ortu gue memutuskan untuk membawa satu cewek paling ndeso, paling medok, paling sotoy, paling telmi, dan paling...