MAS - 01

5.3K 749 126
                                    

Terima kasih dan selamat membaca 💕

***

SINYAL di kampung ini parah. Like, bener-bener parah.

Alasan gue memutuskan keluar dari rumah Paklik Parwoto adalah karena di sana hanya ada sinyal 3G dua bar, dengan harapan setidaknya menemukan sinyal 4G. Meh, 4G my ass. Emergency call only is everywhere.

Gue berjalan mengelilingi Desa Sekartaji, mengabaikan lalu-lalang warga yang antusias memelototi gue, seakan gue artis FTV seperti abang gue. Apakah outfit gue berlebihan? Gue hanya mengenakan t-shirt putih polos, jeans biru muda, dan Converse butut, for God's sake.

Gue menyusuri jalan makadam sambil sesekali memperhatikan sinyal ponsel di tangan. Lalu tanpa peringatan, gerombolan soang terbang dan menerjang gue hingga gue menjerit.

"Anjrit!" Gue lompat ke rerumputan menghindari seekor soang yang mencaplok kaus gue dengan paruhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Anjrit!" Gue lompat ke rerumputan menghindari seekor soang yang mencaplok kaus gue dengan paruhnya.

"Syuh, syuh!" Seorang bapak bertopi caping mengayunkan ranting panjang yang dibawanya untuk menghalau soang-soang itu dari gue, lantas membungkuk berkali-kali di depan gue. "Ngapunten, Juragan Muda. Ngapunten!"

"I-inggih ..." ringis gue, dengan Bahasa Jawa pas-pasan. Gue menatap kepergian si bapak dan soang-soangnya sambil mengurut dada yang berdebar nggak keruan.

But wait, Juragan Muda itu gue? Gue juragan? Meh. Bokap gue tuh juragannya. Papa jauh-jauh ke sini demi membeli setengah kebun apel Paklik Parwoto. Mama ikut karena mau liburan. Sedangkan gue tadinya ogah, tapi Mama memaksa karena sungkan sama Paklik. Setiap ke Jakarta, Paklik dan keluarganya lumayan sering mengunjungi kami, sementara gue boro-boro. Ini pertama kalinya gue menginjakkan kaki di Desa Sekartaji, dan—

—dan gue menyesal.

Gue menyesal, karena ketika gue berjalan lagi, gue menginjak sesuatu yang lembek dan licin. Gue mengangkat sebelah kaki, menatap horor pada sol Converse butut gue yang berbau menyengat.

Yep. Ini pertama kalinya gue menginjakkan kaki di Desa Sekartaji dan ... tai soang.

***

Gue harus mencari sumber air terdekat. Berhubung gue ogah numpang ke rumah warga yang besar kemungkinan akan menjuragan-juragankan gue, gue langsung semringah begitu menemukan kali terdekat. Dengan berhati-hati, gue merendam sol Converse gue di sana selama lima menit, berharap aliran jernih air kali dapat membersihkannya sendiri. Oke, memang benar tai soang itu hilang, but guess what?

Baunya tetap nggak bisa menipu. Damn you unggas-unggas butek akhlakless.

Nyaris putus asa, gue menjadikan rumput di sekitar sungai sebagai keset. Setidaknya aroma tanah bercampur klorofil masih lebih baik. Untuk ratusan kalinya, gue mengecek layar ponsel, kemudian mengembus putus asa karena sinyal HSDPA 1 bar.

Sigh. Hari ini adalah batas akhir submit naskah event di platform menulis yang baru gue jajal dua bulan. Readers gue nggak banyak, tbh. Sejak awal gue juga salah tempat. Ya kali nulis drama psikologi pas event drama rumah tangga. Meskipun latar belakang cerita gue juga rumtang, tapi porsinya sedikit. Gue lebih condong ke pembahasan psikologis. Sudah pasti gue kalah jika dibandingkan dengan peserta lain yang menulis drama rumtang pintu hidayah, but still, I have to finish what I have started.

Tapi ngelihat sinyal kembat-kembut begini, nyerah gue.

Haruskah gue mencoba menangkap sinyal dengan antena wajan? Di dapur Paklik pasti banyak wajan. Gue bisa bayar salah tukang Paklik buat manjat. But wait, gue nggak tahu teknis perancangan antena wajan. Gue butuh Googling. Googling butuh sinyal. Siapapun tolong matiin aja gue.

Dahlah. Lebih baik gue pulang dan terus mencoba dengan sinyal 3G dua bar di sana, harapan terakhir. Gue baru berjalan beberapa langkah, namun kaki gue berhenti dengan sendirinya.

Ada seseorang. Cewek, gue rasa.

Dia duduk di atas batu paling besar di sekitarnya, kurang lebih lima meter di depan gue. Posisi menyerong menghadap kali, membelakangi gue. Kepalanya tertunduk, kakinya berayun-ayun ringan di dalam air. Sejak kapan dia di sana? Waktu gue datang belum ada.

Dia kelihatan lesu. Apakah dia Nawang Wulan yang kehilangan selendang dan nggak bisa balik ke kayangan? Jangan-jangan Jaka Tarub yang mencuri selendang dia sedang mengawasi dari suatu tempat. Haruskah gue mencarinya dan merebut kembali selendang itu and save the day? Haha, bless my imagination.

Gue berbalik akan pergi, tapi—brukk.

Gue berjengit akibat nggak siap menerima tubrukan dari sekelompok bocah laki-laki yang membawa ember dan jaring.

"Woi! Sial!" umpat gue.

"Sepurane, Juragan! Sepurane!" Mereka berlarian sambil meneriaki gue. Kabur begitu saja ke dalam hutan. Jadi begitu attitude mereka sama Juragan, ha? Parah.

Gue menebasi kaus dan celana gue yang—astaga—basah. Celana gue basah. Yang paling parah, basahnya tepat di tengah selangkangan dan warnanya kontras sekali dengan jins pudar gue. Mana gede banget.

Mampus.

Kalau gue nekat melintasi kampung dalam kondisi seperti ini, gue akan dikenang sebagai Juragan Ngompol.

"Sialan, bocah kampung sialan!" Sambil jalan dan masih menepuk celana, gue luapkan semua kekesalan dengan memaki. Apes banget gue hari ini. Sinyal anjlok. Dicaplok soang. Kena ranjau tai soang. Ditabrak bocah-bocah hiperaktif. Now what?

Langkah gue berhenti saat mata gue mendeteksi pergerakan. Cewek itu. Tanpa gue sadari, dia sudah turun dari batu dan sedang mengamati gue. Gue juga memperhatikan dia dengan awas.

Untuk sesaat, gue terpana dan benar-benar berpikir dia Nawang Wulan dari kayangan.

Rambutnya hitam dan tebal, sepanjang dada, dikucir longgar dan tersampir di sebelah bahu. Matanya lebar, iris gelapnya besar dan berbinar. Hidungnya mungil walaupun nggak mancung-mancung amat. Wajahnya juga kecil. Bibirnya sedikit terbuka. Dia ... manis. Cewek paling manis yang pernah gue lihat, setidaknya di desa ini.

Hanya saja, tatapan takjub dia benar-benar membuat gue terusik. Risi.

Gue membentak marah, "Ngapain lo lihatin gue?!" Tinggal tunggu waktu sebelum dia menjuragan-juragankan gue.

Namun, gue salah.

Matanya mengarah ke selangkangan gue. Otomatis gue menutupi bagian itu dengan kedua tangan. Shit, stupid move. Dia langsung ngakak sekencang-kencangnya tanpa dosa.

"Ganteng-ganteng, kok, ngompolan!"

Fix, dia bukan Nawang Wulan.

***

Minami-Kusatsu, Shiga, 6 Agustus 2021

My Adorable Sister (MAS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang