Maaf ya kalau aku belum sempat balas komenan, tapi makasih banget buat Teman-teman yang nyemangatin aku. It means a lot to me. Sayang kalian banyak-banyak 🥰
Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
MAU membawa cewek random medok nggak jelas ini ke Jakarta, jadi adik kelas gue, dan tinggal bareng gue? Mama pasti bercanda. Mama nge-prank, nih.
Or not. Mama malah bersemangat mengorek latar belakang keluarga Sri. Papa juga ikut-ikutan. Fakta bahwa Sri ranking satu di kelas, pengin kuliah tapi terbentur biaya, ditambah ternyata dia anak yatim, sukses bikin Papa-Mama terenyuh. Papa-Mama nggak mengutarakannya secara gamblang, tapi gue bisa melihat itu dari cara mereka menatap Sri.
Gue cuma bisa kicep.
Hello, Pa, Ma, isn't it too sudden? Kita ke sini karena Papa mau beli kebunnya Paklik, kan? Kenapa tiba-tiba berimprovisasi mau nambah anggota keluarga segala? Bahkan Sri sampai melongo. Semua pertanyaan Papa-Mama dia jawab dengan gagu. Dia sama syoknya dengan gue.
Nggak ingin bikin kegaduhan, gue menginisiasi sesi percakapan lain dengan Papa-Mama setelah Sri pulang. Bertiga saja di kamar mereka.
"Pa, Ma, aku nggak setuju dia ikut kita," kata gue lugas, menyandarkan punggung di pintu yang tertutup lalu bersedekap.
Ortu gue bertukar pandangan sesaat sebelum berpencar melakukan aktivitas masing-masing.
"Kenapa?" tanya Papa, sambil mengambil kaus dari dalam lemari.
"Mama suka sama Sri, anaknya ekspresif dan enerjik." Nyokap gue senyum-senyum di depan meja rias sambil membersihkan muka dengan kapas.
"Aku, nggak, setuju." Gue menekan ucapan perkata.
Mama menoleh gue. "Tapi cantik, kan?"
"Cantik."
"Oke, setuju!"
"Mamaaa!"
Gue menggeram. Astaga! Bener-bener nggak sadar dengan jebakan betmen barusan. Mama mengepalkan tangan di udara sebagai gestur kemenangan, sedangkan Papa ngetawain gue setelah berganti kaus. Bego lo, Mail.
"Nggak setujunya kenapa? Sini, Boy. Come here." Papa memanggil gue dengan lambaian tangan.
Gue menyeret langkah malas lalu duduk di ranjang bersama Papa. "Dia cewek, Pa. Abang sama aku cowok," ucap gue, menatap Papa lekat di balik kacamatanya.
Kening Papa berkerut. "Takut khilaf kamu?"
"Pa!" desis gue.
"Papa rasa harusnya nggak ada masalah. Kamar kalian di lantai dua, Sri di lantai satu, di kamar tamu dekat Bik Minah. Kalau kamu macem-macem Bik Minah saksinya." Papa menyebutkan ART di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Adorable Sister (MAS)
Teen FictionMereka Bilang, Aku Kemlinthi (MBAK) dengan POV orang pertama cowok. *** Delapan belas tahun gue hidup ya gitu-gitu doang, sampai hari itu ortu gue memutuskan untuk membawa satu cewek paling ndeso, paling medok, paling sotoy, paling telmi, dan paling...