Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
SEJAK kami turun di parkiran mobil, mata bulat Sri berkali-kali melirik entah ke mana. Ke segala penjuru yang kami lewati. Gue ulangi: hanya melirik, tanpa berani menoleh. Gue rasa karena kedua kakinya juga harus mengimbangi langkah gue yang lebar.
Mengamati dia berjalan di sisi gue, rasanya lucu. Gue baru sadar tinggi dia cuma sebahu gue. Nggak mungkin sampai 160 senti. Mungil.
Gue merunduk sedikit. "Ngapain lirik sana-sini? Mau singgah sebentar?"
"Eh, ndak, kok!" Dia terkesiap, seperti baru tertangkap basah oleh gue. "Aku ndak melirik. Ayo, ditunggu Kak Anggun!"
"Woah ... Mall-nya gede banget, ya?" gumam gue, melayangkan perhatian ke langit-langit megah Grand Indonesia yang berkilauan. Pandangan gue menyapu beberapa outlet di sekitar sebelum kembali ke dia. "Menurutmu gimana?"
Binar matanya menyala. "Iya, Mas. Gede pol! Dari tadi aku juga mikir gitu. Mall ini lebih gede daripada mall yang dulu aku pergi sama Abang!"
Hidung gue kembang-kempis. Nggak tahu kenapa gue bangga? Gedean mall gue.
Gue tertawa. "Yaudah, sih, kalau kamu mau lihat kemana noleh aja, kenapa harus ditahan-tahan?"
"Behave, Mas. Jaga persona di tempat umum. Aku ndak boleh norak."
"Nope. Lebih dari setengah pengunjung mall datang cuma buat window shopping, alias lihat-lihat doang. Kamu nggak norak. Silakan."
"Gitu, ya?" Dia meringis. "Tapi ndak usahlah, kita lagi buru-buru, tho? Kalau aku jalan sambil tolah-toleh terus aku hilang, malah bikin Mas Liam repot. Ujung-ujungnya aku disemprot. Samean kan galak."
Ekspresi nyinyir dia bikin gue berdecak lidah. Sialan.
Langkah gue berhenti dan dia mengikuti. Gue menjumput badan kiri kemeja flanel yang gue fungsikan sebagai outer.
"Nih, pegang," perintah gue. Dia menurut tanpa bertanya, menggenggam kemeja yang nggak gue kancingkan ini. Gue berjalan lagi. Tergesa-gesa, dia mengimbangi gue.
"Lho, ini gimana maksudnya? Kenapa aku disuruh megangin kemeja?"
"Supaya bisa tolah-toleh dan nggak hilang."
"He?" Dia terkekeh pelan. "Owalah, Mas ngambek, tho. Kenapa ngambek? Memang bener kan Mas Liam galak sama aku."
"Ya, aku bukan Abang. Aku galak," tapi sayang sama lo.
"Lho, tambah ngambek? Kenapa bawa-bawa Bang Hans?" Dia makin terkikik, gue ogah menoleh. "Mas memang nggak kayak Abang. Kalau Abang kemarin aku digandeng supaya nggak hilang, bukan disuruh nggandolin kemeja."
"Wow! Pasti seneng bisa digandeng artis ibukota," sindir gue.
Ya. Gue memang nyinyir out of jealousy. Dia pernah marah besar waktu gue menggenggam tangannya untuk mengoperasikan ponsel. Karena itu gue nggak bernyali buat menyentuh tangannya lagi.
"Seneng bener, Mas! Baru kali itu aku gandengan sama artis!"
Haha. "Selamat."
"Tapi, baru kali ini juga aku megangin kemejanya juara olimpiade Matematika internasional yang lagi ngambek. Rasanya beda, kayak ada lucu-lucunya!"
Gue menoleh dia sebelum kami naik eskalator. "Lucu gimana?"
"Yaaa, lucu." Dia tersenyum mengangkat bahu. "Mas Liam itu pinter, tapi bisa bloon juga. Galak, tapi aslinya perhatian. Nyebelin, tapi ternyata lucu juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Adorable Sister (MAS)
Teen FictionMereka Bilang, Aku Kemlinthi (MBAK) dengan POV orang pertama cowok. *** Delapan belas tahun gue hidup ya gitu-gitu doang, sampai hari itu ortu gue memutuskan untuk membawa satu cewek paling ndeso, paling medok, paling sotoy, paling telmi, dan paling...