Coba, yang kangen Mail-Sri ramaikan yaa~
Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
PENGALAMAN pertama gue memperpanjang paspor sendiri terbilang mudah. Beberapa hari sebelumnya gue melakukan pendaftaran online dan mencetak buktinya, lalu datang ke kantor imigrasi di Pancoran sesuai waktu yang tertera. Proses di sana cuma sekitar 45 menit. Paspor bisa diambil dalam 3-4 hari ke depan setelah pemberitahuan via Whatsapp.
And done. Gue pikir bakal drama antre seharian, rupanya yang lebih lama adalah macet di jalan. Sigh, tahu gini gue ikut ke Ancol sama sepupu-sepupu—tadi pagi nyokap maksa mengingat gue bakal lama ketemu mereka lagi. Bingung mau ngapain, gue keliling mencari masjid yang punya ubin adem untuk menunggu Jumatan, lalu pulang ke rumah.
Seperti biasa nggak ada yang menjawab salam gue. Tadinya gue mau langsung ke atas, tetapi sesuatu menghentikan langkah gue di ruang keluarga. Gue mendekati sofa.
Aww. Putri Kemlinthi lagi tidur.
Kagetin jangan?
Ranselnya ada di single sofa. Dua buku yang terbuka dan alat tulis bertebaran di meja. Dia sendiri masih mengenakan batik toska dan bawahan hitam sekolah kami. Ganti baju dulu kenapa?
Gue berlutut di sisinya, di dekat kepala. Dia tidur menyamping dengan setengah kakinya ke bawah, apa nggak pegal? Dia sudah memakai bantal sofa, tapi masih juga melipat lengan dan bertumpu kepala dengan kedua tangan. Tekanan di pipi membuat bibirnya jadi manyun.
Gue menekan pipinya yang lain dengan satu telunjuk, kemudian cairan bening mengalir dari sudut bibirnya.
Dengan sendirinya gue tersenyum.
Jodoh siapa sih lo? Lucu amat.
"Woy, Telmi," bisik gue, satu jengkal dari hidungnya.
Dia nggak merespons dan gue pun nggak berharap demikian. Gue menyelipkan beberapa rambutnya yang menutupi wajah ke belakang telinga.
"Hey, Kemlinthi."
Bagus deh dia pules. Gue leluasa menikmati bulu mata lebatnya, minyak di hidungnya, tahi lalat di samping bibirnya, dan jerawat kecil di atas alisnya. Juga pertengahan keningnya yang gue telusuri dengan telunjuk, turun menuju hidung.
"Hey, Sayang. Sayangnya Liam."
Selagi dia pingsan boleh lah ya gue bucinin dikit. Kapan lagi coba? Mana bisa gue bilang begini kalau dia fully awake, yang ada gue dikata ngapusi dan kena keplak.
Nggak terasa sudah lebih dari tiga bulan dia di rumah ini. Atau empat bulan? Gue nggak menghitung. I just can't believe how fast time flies. Rasanya seperti masih kemarin waktu gue menemukan dia nangis di batu kali. Karena dia nuduh gue ngompol, sebenarnya gue nggak ingin mengenang pertemuan pertama itu, but now that I fond of her, I change my mind and declare it as a so-called 'meet cute'.
Gue juga nggak ingat sejak kapan gue terbiasa dengan tampang songong dan suara medoknya. Gue baru tersadar ketika dia sakit dan nangis dan gue nggak tahan. Gue juga uring-uringan melihat kedekatan dia sama Abang. Penentu utamanya adalah jantung gue yang nggak bisa bohong setiap dia berkeliaran di sekitar gue. Cuma dia yang membuat gue begini.
Dan sekarang dalam hitungan minggu yang terus mundur, gue harus membiasakan diri tanpa dia lagi. How hard could it be?
Tersenyum tipis, gue mengetuk-ngetuk ringan keningnya dengan telunjuk. "I'm gonna miss you."
Alisnya berkerut secara tiba-tiba dan spontan gue mundur penuh antisipasi. Oh, shit. Jangan bilang dia bangun.
Matanya masih tertutup, namun mulutnya bergerak-gerak pelan sebelum bersuara lirih, "Aku ndak mudeng."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Adorable Sister (MAS)
Teen FictionMereka Bilang, Aku Kemlinthi (MBAK) dengan POV orang pertama cowok. *** Delapan belas tahun gue hidup ya gitu-gitu doang, sampai hari itu ortu gue memutuskan untuk membawa satu cewek paling ndeso, paling medok, paling sotoy, paling telmi, dan paling...