MAS - 06

2.2K 618 75
                                    

Terima kasih dan selamat membaca 💕

***

General essay, check.

Personal statement, check.

TOEFL score, check.

Final exam result (UN) ... TBA.

List of achievement and CCA, check.

Principal's testimonial, check.

(2) Referee reports, check ...?

NOPE, not yet. Referee reports belum lengkap. Gue menganulir check mark yang barusan telanjur gue bubuhkan pada admission portfolio list. Persyaratannya adalah referee reports dari dua kenalan, sementara gue baru mengantongi satu dari ketua yayasan sekolah. Untuk yang satu lagi—

"Ini TOEFL yang kamu tes kemarin?"

Gue menengadah. Abang mengangguk-angguk memegang sertifikat TOEFL gue di tangannya, lalu duduk bersama gue di sofa.

"Skor Abang dulu nggak sampai segini. Jauh. Gila, adek gue doang emang," gumamnya, bikin gue malu dan segera merebut sertifikat itu.

"Abang udah nggak perlu tes beginian." Gue menyimpannya kembali dalam folder.

"Yep. Abang perlunya cari uang yang banyak, supaya pendidikan anak-anak Abang nanti bisa secemerlang adek Abang. Abang bisa bayangin mereka punya om kayak kamu, pasti bangga banget buat dijadikan panutan."

Senyum dan motivasi Abang masih saja sering bikin gue baper salah tingkah. Meski gue cowok dan udah segede ini. Gue sampai harus merapatkan mulut dan mengeraskan rahang supaya nggak tersenyum.

Yeah, Abang gue doang emang.

"Progres administrasi gimana? Kurang apa?" Abang mengambil portfolio list yang tadi gue corat-coret. "Referee reports, what is it?"

"Some kind of rekomendasi. Semacem ini." Gue mengeluarkan selembar kertas dari folder. "Ini karena aku pengurus MPK, ketua yayasan mau bikinin rekomendasi. Ini butuh dua dan satunya lagi masih aku usahakan. Yang satu lagi instruktur waktu karantina olimpiade, tapi beliau susah dihubungi. Tipikal guru besar UI lah, Bang."

Abang terbelalak. "Rekomendasi kamu digantungin?"

Gue meringis. "Nggak lah, Bang, jangan sampai. Prof-nya kenal aku dan aku punya kontaknya, tapi mau neror gimana, ya? Lebih sopan kalau besok aku main ke kantor beliau."

"Bener, bener. Manners matter." Abang mengangguk, lalu terdiam cukup lama, menatap gue dalam. "Kamu beneran mau ninggalin Abang ke Singapore? Serius?"

Tawa gue menyembur dalam hitungan detik, lalu gue bergidik. Geli, sumpah!

"Bang apaan, dah? Singapore ini nggak sampai enam jam. Sama lah sini-Bandung apalagi kena macet. Jangan bilang Abang kangen aku?"

Abang menggigit bibir bawahnya. "Salah? Temen Abang di rumah ya kamu, Liam. Abang bisa bayangin sepinya malem Minggu nggak PS-an sama kamu."

"Why not? Bisalah Bang daring." Gue masih ketawa.

"Tapi beda, Adek."

Tawa gue memudar karena suara lirih Abang. Uhm, serius Abang kehilangan gue? Well, of course gue juga bakal kangen Abang. Tapi berbeda dari dia, gue nggak terbiasa mengungkapkan perasaan segamblang itu.

Maka, gue hanya bisa nyengir kaku, "Abang masih punya adek medok yang berisik itu." Gue menunjuk arah kamar cewek itu dengan dagu.

"Sri?" Abang melirik kamar itu sekilas, "Sri beda dari kamu," lalu tersenyum cerah menatap gue. "Eh, dia gimana di sekolah? Betah? Udah punya temen? Seneng, nggak? Nggak ada yang usilin dia, kan?"

My Adorable Sister (MAS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang