Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
BELAKANGAN ini gue merasa nggak aman meski di rumah sendiri. Ralat, terutama di rumah sendiri. I think I'm in danger. Gue was-was setiap berada di keluar kamar. Gue celingukan setiap turun ke lantai satu. Dan lampu radar siaga satu gue menyala setiap mendeteksi kehadiran Sri.
Itu dia, baru keluar kamar buat makan malam bersama. Oh, shit, kenapa dia milih duduk di sebelah gue? Tapi bukannya dia emang biasa di sebelah gue? Ngapain gue overreacting?
"Sudah siap kembali sekolah besok, Nduk?" tanya Mama, yang duduk di seberangnya, setelah mempersilakan dia mengambil piring.
"Nggih, Bude. Baju, sepatu, buku, semua sudah siap," jawab dia riang. Gue berusaha nggak menoleh, tapi gue tahu dia tersenyum.
Di depan gue, Abang minum lalu ikut bertanya, "Fisiknya sudah siap?"
"Sudah, Bang!" Gue yakin senyum dia makin lebar. "Berkat bubur kacang ijo kemarin. Abang beli di mana? "
"Kamu beli bubur kacang ijo?" Mama menoleh Abang yang cuma terkekeh. Gue menggulung mi dengan garpu lalu memakannya.
"Banyak kuah jahenya. Enak bener. Hangat, Bude," tambah dia lagi, sambil mengisi mangkuk dengan sup. "Pas Sri sakit Ibuk suka bikin itu. Kalau beli di luar ndak ada yang banyak kuah jahenya. Tapi di dekat sini ada yang jual, tho, Bang?"
Gue menurunkan sendok dan terpaksa menoleh dia.
"Kagak ada. Bubur kacang ijo di mana-mana sama. Kuah jahenya Abang sendiri yang request. Gitu doang lo nggak paham? Makanya mikir!"
Dia memelototi gue. "Kalau bisa tanya kenapa harus mikir!"
"Mikir itu perlu supaya nggak kemlinthi."
"Siapa yang kemlinthi?!"
"Mikir, dong. Menurut lo siapa yang kemlinthi?"
"Aku ndak—"
"Stop, stop, stop!" seruan Abang bersama denting sendok yang dipukulkan ke gelas mengalihkan gue. Tatapan tajam Abang menusuk gue dan Sri bergantian. "Kalau mau ribut-ribut, minggir. Jangan di meja makan. Mama sama Abang mau makan."
Gue tersenyum puas dan meneruskan makan. Adu mulut sama dia seperti barusan membuat gue lebih santai dan merasa less dangerous. Nggak terancam-terancam banget lah.
Hanya saja, ketenangan ini nggak bertahan lama ketika Mama—seperti biasa—nyuruh Sri menghabiskan sisa lauk.
"Nduk, ini sup sama mi-nya masih sisa. Ayo dihabiskan."
Dia menjawab canggung, "Ndak usah, Bude. Disimpan saja nanti buat Pakde."
"Pakde kalau jam segini belum pulang pasti makan di luar, Nduk. Sudah, ayo habiskan." Mama tertawa sejenak sebelum minum.
Dia mengintip mangkuk utama sup, lalu mendongak pada Abang. "Abang habisin supnya, ya? Aku mi-nya. Abang seneng makanan berkuah, tho?"
Abang terdiam sesaat. "Kok tahu?"
"Ya ngerti pokoknya." Dia tertawa pelan, sambil memenuhi mangkuk Abang dengan semua sup yang tersisa. "Dah, ini buat Abang aja, oke?"
Ck. Abang tersipu, mengusap tengkuk, sama sekali nggak menolak. Jangan bilang Abang baper karena Sri tahu seleranya? Dasar lemah.
Saat Abang mulai menikmati supnya, Sri mengambil piring mi goreng dan menempatkannya di antara kami. Dia merapat ke gue, berkata, "Mas, ayo habisin sama-sama!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Adorable Sister (MAS)
Teen FictionMereka Bilang, Aku Kemlinthi (MBAK) dengan POV orang pertama cowok. *** Delapan belas tahun gue hidup ya gitu-gitu doang, sampai hari itu ortu gue memutuskan untuk membawa satu cewek paling ndeso, paling medok, paling sotoy, paling telmi, dan paling...