MAS - 24

1.6K 452 77
                                    

Terima kasih dan selamat membaca 💕

***

PIALA perdana yang sukses gue bawa pulang adalah juara 1 lomba cerdas cermat beregu se-DKI. Gue ingat sekali, waktu itu kami sempat ditertawakan tim lawan karena memasukkan gue yang masih kelas 4 SD. Gue langsung sambat dan meminta keluar pada guru pembimbing, namun beliau memberi gue pengertian. Jika gue mundur, artinya gue membenarkan apa yang dikatakan tim lawan. Jika gue bertahan, artinya gue keren banget karena, "masih kelas 4 saja bisa ikut lomba cerdas cermat, lho," kata beliau, sambil mengedipkan sebelah mata.

Gue bertahan karena pujian keren dari guru favorit gue. Seandainya waktu itu gue mundur, gue nggak mungkin bisa melihat raut kecut tim lawan saat gue mengangkat piala di podium. Setelah serah-terima piala, luapan rasa bahagia membuat gue berlari dan menghambur ke pelukan guru gue itu. Entah mengapa, beliau menangis saat mengusap-usap kepala dan punggung gue. Beliau berbisik,

"You're just amazing, I'm so proud of you."

Seperti yang gue lakukan pada Sri saat ini. Gue pernah berada di posisi Sri, namun kali ini gue paham perasaan guru gue. Kebahagiaan dalam bentuk lain ketika seseorang yang gue sayangi memetik hasil nyata dari usaha kerasnya. Rasa bangga bercampur haru yang sulit untuk gue deskripsikan, hingga yang mampu gue lakukan hanya mendekap Sri lebih erat, lebih dalam.

"Matur nuwun, Mas," balasnya, mengangguk di antara debaran dada gue.

"Ehm, Kak Liam, maap maap nih Sri harus naik panggung. Lagian, Sri, yang harusnya lo peluk itu kita, bukan Kak Liam!"

Gue dan Sri saling menolak diri. Spontan.

Makian Claudia barusan menyadarkan gue bahwa semua—literally, semua—orang menyaksikan langsung apa yang gue dan Sri lakukan barusan. Dan, mampus gue, bokap menyeruak maju lantas menyambar telinga gue.

"Pa—"

"Kamu ini siapa berani peluk-peluk anak perempuan saya, hah?! Katanya nggak pacaran, menggurui saya supaya protektif sama Sri, terus yang barusan kamu lakukan itu apa?!"

Anjir sakit! "Aduh, Pa, lepas—"

"Pakde, ngapunten!" Sri berseru dan telinga gue dilepaskan. Sigh. "Sri yang salah, Sri yang meluk Mas Liam saking senengnya. Ngapunten, Pakde, Mas Liam ndak salah jangan dijewer."

Bokap tersenyum lebar menepuk-nepuk punggung Sri. "Sudah, Sri naik dulu, ini urusan Pakde. Oh ya, selamat, Nduk. Pakde bangga."

Begitu Sri pergi, Papa menyeret gue keluar rombongan. Disusul Mama yang tergesa-gesa mengikuti, hingga kami berhenti di pinggiran tribun yang sepi. Keduanya menghadang gue dengan tatapan menuduh. Gue menelan ludah.

Gue baru membuka mulut, namun terpaksa mengatup lagi sebab Papa lebih cepat bertanya, "Yakin kamu nggak pacaran sama Sri? Papa perlu tahu yang sebenarnya."

"No," tegas gue. "Sama sekali nggak."

"But you like her," sela Mama, "I know you do."

Bibir gue kebas seketika. Tanpa niatan mengelak, gue membuang napas panjang dan menatap ortu bergantian.

"Benar. Ada yang salah, Pa, Ma?" Gue mengangkat bahu. "Aku pikir Papa sama Mama sudah tahu, karena aku nggak berusaha menutupi itu di depan Papa-Mama."

Ortu gue bertukar pandang sesaat, sebelum Mama menatap gue kembali dengan senyum gelisah.

"Liam, Mama nggak melarang kamu suka atau pacaran dengan siapapun. Go on, your life's yours. Tapi ini Sri, Nak. Kalian hidup serumah, dan kalau ada apa-apa—"

My Adorable Sister (MAS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang