Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
TERAS belakang rumah gue pagi ini terlihat berbeda. Selain deretan koleksi anggrek gantung Mama, gue melihat bunga-bunga lain di pot bawah. Tapi seingat gue, Mama kurang suka tanaman di pot bawah karena sering jadi sarang nyamuk. Mungkin nyokap sudah ganti selera?
Mana langsung banyak begini. Ada geranium, mawar, melati, lily, bunga sepatu, bikin teras mendadak jadi colorful. Ditambah terik matahari yang hangat dan diselingi hawa sejuk membuat senyum gue terulas. Gue berlutut di depan salah satu pot mawar merah. Sesaat, gue terpana mengamati kelopaknya yang dihiasi jejak embun. Manik-manik air tersebut membiaskan cahaya, membuatnya terlihat seperti hamparan kristal mahal. Cantik.
Kemudian, satu panggilan mengalihkan gue dari si mawar.
"Mas Liam."
Keterpanaan gue perlahan naik melihat sosok itu datang melewati sliding door kaca yang terbuka. Gue berdiri kembali, dan dia, Sri, kini tersenyum sempurna di hadapan gue. Kedua sudut matanya menyipit. Sebut saja gue berlebihan, namun dia bersinar cerah pagi ini. Debar jantung gue adalah buktinya. She's effortlessly beautiful.
"Sri." Butuh beberapa detik sebelum gue sadar dan membalas sapaannya. Sedangkan untuk senyumnya, gue nggak mampu membalas. Otot wajah gue kaku.
"Mas Liam suka bunga-bunga ini?" Dia mengedarkan pandang berkeliling teras.
"Suka," jawab gue, berusaha nggak terdengar gugup.
"Kalau aku?"
"Ya?"
"Kalau aku, Mas suka nggak?"
What? Pertanyaan apa barusan? Tujuannya apa? Gue harus jawab apa?
Kebingungan gue makin bertumpuk ketika kemudian Sri menundukkan kepala. Kedua pipinya jadi semerah tomat. Gue rasa dia gugup, entah kenapa? Dia mengatakan sesuatu dengan suaranya yang terlalu kecil, nyaris nggak bisa gue dengar andai jarak kami nggak sedekat ini.
"Aku menanam bunga-bunga ini. Ini semua perasaanku buat Mas Liam."
Gue menelan ludah. Bukan sekali-dua kali gue menghadapi gestur grogi cewek seperti ini. Biasanya, ini adalah gelagat gue bakal ditembak yang selalu membuat gue jengah, but hey, this is Sri I'm talking about. Cewek yang gue suka. Gimana bisa gue nggak kehabisan napas? Oksigen mana oksigen?
"Perasaan ... apa?" Gue nggak mau berasumsi. Gue harus memastikan.
"Su ... suka, Mas."
"Suka siapa?"
"Suka njenengan, Mas Liam."
Kepala gue blank. Nggak bisa mikir.
Gue nyaris nggak bisa merasakan detak jantung sendiri. Apa gue salah dengar? Mungkin gue hanya mendengar sesuatu yang memang ingin gue dengar? Ya, this is too good to be true. Pasti telinga bucin gue sedang mempermainkan gue.
"Ngapain lo ngadi-ngadi ke gue? Gue nggak baper sama sekali. Usaha lo kagak mempan." Gue menuding dahinya. "Tahu diri lo, cewek kemlinthi pasti gue tolak!"
"Oh, gi-gitu, ya, Mas?" Dia tertawa serak, mengusap sudut mata satu-persatu. Apaan, sih? Air mata palsu. "Aku nggak mengada-ada. Aku suka sama Mas, tapi ... kalau Mas nggak suka cewek kemlinthi, ya sudah."
Dia menengadah, tersenyum lemah dengan mata merah dan sisa air mata yang masih jelas membasahi. Hati gue tertampar keras melihat ini. Kegoblokan apa yang barusan gue lakukan?
Gue maju selangkah. "Sri—"
Tapi dia mundur, "Ma-makasih buat semuanya, Mas," kemudian membungkuk singkat. "Aku pamit mau pulang ke Ibuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Adorable Sister (MAS)
Teen FictionMereka Bilang, Aku Kemlinthi (MBAK) dengan POV orang pertama cowok. *** Delapan belas tahun gue hidup ya gitu-gitu doang, sampai hari itu ortu gue memutuskan untuk membawa satu cewek paling ndeso, paling medok, paling sotoy, paling telmi, dan paling...