27. Sebuah Firasat

217 12 1
                                    


" Kekhawatiran tentang apa yang belum tentu terjadi tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik, begitu pun sebaliknya, "

                      ~Unknow~                     

           
.

.

.

***

          Di pagi yang cukup cerah ini, Hanafa sudah disibukkan dengan urusan dapur, apalagi kalau bukan untuk menyiapkan menu sarapan. Saat sedang fokus meracik bumbu untuk masakannya, tiba-tiba Hanafa merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Ia sempat terkejut karena gerakan tiba-tiba itu.

          Hanafa menunduk dan melihat sepasang lengan kekar berbalut kemeja panjang berwarna hijau lumut meliliti perut buncitnya, sesekali seseorang itu melakukan gerakan mengelus perutnya dari balik gamis putihnya. Tanpa menoleh pun Hanafa sudah tahu siapa pemilik lengan kekar itu.

          " Selamat pagi, istriku. Selamat pagi juga anak ayah, " ucap Adnan seraya mengecup keningku, lalu turun ke perutku berbisik pelan dan mengecupnya.

          " Selamat pagi juga, suami. Selamat pagi, ayah, " jawab Hanafa dengan suara seperti anak kecil di kalimat terakhirnya.

           Hal itu sontak membuat Adnan terkekeh geli melihat kelakuan istrinya itu.

           " Mas Adnan nunggu di meja makan aja sana. Nanti bau masakannya nempel lho di baju mas Adnan, " ujar Hanafa, seraya mendorong pelan tubuh Adnan.

          " Ya udah. Kalau gitu mas tunggu di meja makan, ya, " jawab Adnan, meninggalkan kecupan singkat di pipi kanan Hanafa sebelum berbalik menuju meja makan.

          Tak membutuhkan waktu lama, Hanafa susah menyelesaikan acara masak-
memasaknya. Hanafa hanya membuat menu sederhana, seperti  nasi putih yang masih mengepul, sup ayam, sambat ulek, ayam goreng, serta lalapan. Satu per satu makanan ia susun rapi di meja makan.

          Hanafa dengan telaten menaruh nasi serta lauk pauknya di atas piring Adnan yang sudah duduk manis di kursi meja makan. 

          " Makasih, sayang, " ucap Adnan sembari mulai memakan sarapannya.

          " Sama-sama. Itu udah tugasku, mas, " jawab Hanafa beralih duduk di kursi sebelah Adnan, dan ikut memakan sarapannya. Mereka makan dengan tenang tanpa ada acara mengobrol.

          Selepas sarapan, kini Hanafa sudah berada di teras rumah untuk mengantarkan kepergian Adnan untuk bekerja.

          " Mas, nanti mau dibawakan makan siang tidak?, " tanya Hanafa.

          Adnan terlihat berpikir sejenak, sebelum menjawabnya dengan anggukan. Sebenarnya dia sedikit khawatir mengingat kandungan istrinya yang sudah memasuki bulan kedelapan. Yang artinya tinggal menghitung minggu, calon anak mereka akan lahir ke dunia ini. Adnan hanya tidak ingin Hanafa kelelahan dan berakibat buruk bagi kesehatan Hanafa dan calon anaknya.

          Namun, melihat binar keantusiasan dari wajah istrinya itu, Adnan tak kuasa untuk menolaknya.

          " Tapi, dengan syarat kamu harus diantar supir. Nanti mas hubungin pak Suryo buat jemput kamu, " ucap Adnan.

Takdir Cinta HanafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang