19. Buah Kesabaran

870 33 0
                                    


" Aku bersabar hanya untukmu.
Dan Allah, telah memberiku
buah dari kesabaran itu, "

~Hanafa Humaira Rasyid~

***

Aku menggeliat saat sinar matahari mengenai wajahku, hingga meninggalkan rasa hangat. Aku mengerjabkan mataku perlahan menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina mataku.

Saat kesadaranku sudah kembali sepenuhnya, gerakanku untuk bangun dari perbaringan tertahan oleh suatu benda berat yang melingkar di perutku.

Aku menunduk mendapati lengan kokoh seseorang yang menjadi penyebabnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan suamiku tercinta, mas Adnan. Aku ingin menikmati saat ini lebih lama lagi, tapi aku ingat belum membuat sarapan.

" Mas Adnan?, " panggilku pelan, berharap dia akan bangun. Namun tak ada sahutan apapun dari belakangku.

Aku berniat memindahkan lengan kokohnya itu, namun mas Adnan malah mendekap dan menarikku agar lebih dekat kearahnya. Alhasil, aku bisa merasakan punggungku yang kini menempel di dada bidangnya. Aku seketika meremang saat nafas hangat dan teratur mas Adnan menerpa kulit tengkukku. Aku masih bisa merasakannya, meski dihalangi oleh khimar yang tidak pernah kulepas ketika tidur selama aku menikah dengan mas Adnan. Ya, aku belum pernah sekali pun menampakkan mahkotaku secara terang-terangan pada mas Adnan. Tidak, sebelum dia sendiri yang memintanya.

Jantungku berdegup kencang. Untuk sesaat aku bahkan lupa bernafas. Semoga saja mas Adnan tidak mendengar degup jantungku yang semakin menggila.

" Mas, " panggilku lagi. Aku tidak bisa seperti ini. Keadaan ini sungguh tidak baik untuk kesehatan jantungku.

" Hm. Good morning, honey!," bisik mas Adnan di telingaku, dengan suara serak khas orang bangun tidur.

Aku tidak mampu membalas. Tubuhku seketika mati rasa. Apa tadi?! Apa mas Adnan baru saja memanggilku 'honey'?! Ya, Allah! Pekikku dalam hati.

Aku seketika tersadar saat merasakan mas Adnan yang semakin mengeratkan pelukannya, hingga memblokade gerakanku. Mengecup pelipisku sebentar, lalu mengusap puncak kepalaku lembut. Bolehkah aku berharap kalau mas Adnan sudah memiliki perasaan cinta untukku? Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mataku meluncur bebas tanpa komando. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis keharuan bercampur bahagia.

Mendengar suara isakanku yang tertahan, mas Adnan dengan cekatan membalikkan tubuhku. Bisa kulihat rawut wajah panik yang mas Adnan tampilkan saat melihat berderai air mata. Ia langsung membingkai wajahku dengan tangan besarnya yang terasa pas di wajahku, sambil mengusap pipiku dengan ibu jarinya.

" Kamu kenapa nangis, hm? Apa aku berbuat kesalahan? Kalau iya, aku sungguh minta maaf, Hana. Aku tidak akan mengulanginya. Tolong, jangan menangis lagi, ya?, " ucap mas Adnan khawatir. Aku menggeleng lemah.

" Aku menangis karena aku bahagia, mas, " cicitku pelan, memberanikan diri untuk menatap wajah tampan suamiku. Bisa kulihat setitik senyum terbit di bibirnya.

Mas Adnan langsung membawaku ke dalam dekapannya, memelukku erat, sambil berkali-kali mengecup puncak kepalaku. Perlahan-lahan, aku mulai rileks dengan posisi ini. Aku membalas pelukan hangat mas Adnan, menyembunyikan wajah meronaku di dada bidangnya.

" Maafkan aku, Hana. Maaf karena selama ini aku belum memberimu hak sepenuhnya sebagai istriku. Aku terbelenggu oleh masa lalu, dan akhirnya mengunci rapat hatiku untuk perempuan manapun. Dan sekarang, pintu hatiku sudah terbuka sepenuhnya. Dan itu hanya untuk kamu, " bisik mas Adnan di telingaku, kemudia membalikkan tubuhku pelan. Ia lalu mengecup keningku lama.

Takdir Cinta HanafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang