" Aku seperti hujan dan kamu
awannya. Aku itu seperti hujan yang
terpisahkan oleh awan. Aku turun ke
Bumi untuk menyusuri gunung-
gunung, bebatuan yang terjal, sungai
dan anak-anak sungai yang berkelok-
kelok, aku melewati banyak tempat
yang membutuhkan waktu yang
lama. Tapi kamu harus tahu sebagai
awan, suatu saat air hujan akan
menguap dan kembali pada awan lagi.
Jadilah awan yang tetap biru cerah
seperti dulu dan bersedia menjadi
tempat kembaliku dari lelahnya
perjalanan yang kutempuh, "~ nindi.rain~
***Hari demi hari berlalu. Bulan demi bulan pun telah berganti. Tanpa terasa, kini usia kandunga Hanafa sudah memasuki bulan ke lima. Ya, waktu berlalu secepat itu. Atau mungkin terasa cepat berlalu karena terlalu bahagia?
Di pagi yang cerah ini, seperti biasa Hanafa sibuk dengan urusan dapur untuk menyiapkan sarapan untuk suainya tercinta, Muhammad Adnan Al-faridzy. Jika biasanya, Hanafa akan dibantu oleh mbok Surti, kali ini ia harus menyiapkan semuanya sendiri. Seminggu yang lalu, mbok Surti terpaksa harus pulang kampung untuk merawat anaknya yang tengah sakit. Mungkin baru akan kembali minggu depan.
Untuk menu sarapannya kali ini, Hanafa memilih membuat udang krispy, ayam goreng, tumis kangkung, dan sayur sop. Dengan terampilnya wanita yang kini berusia 25 tahun itu mengolah bahan-bahan masakannya. Sesekali ia menyeka buliran keringat yang membasahi dahinya.
Tak membutuhkan waktu lama, semua jenis masakannya pun siap untuk disajikan. Satu per satu ia bawa masakannya ke meja makan.
Kini, ia tinggal membangunkan suaminya yang mendadak jadi kebo. padahal suda hampir jam 8. Dengan hati-hati, Hanafa menapaki setiap anak tangga, sambil berpegangan pada pembatas tangga. Perutnya yang sudah membuncit membuatnya harus selalu berhati-hati.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka lebar. Hanafa melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan Adnan. Hanafa menggeleng kecil seraya terkekeh geli melihat Adnan yang masih terlelap dengan memeluk erat gulingnya. Sejak kapan suaminya jadi kebo seperti itu. Suaminya itu pasti sangat kelelahan. Semalam saja, Adnan baru pulang ke rumah di jam 1 dini hari. Katanya ada kecelakaan beruntun di jalan dekat rumah sakit, makanya ia harus lembur untuk menangani pasient. Dan di hari libur ini, dimanfaatkannya untuk istirahat.
Tugas seorang dokter memanglah seperti itu. Harus siap pasang badan di mana pun dan kapan pun bila dibutuhkan. Hanafa juga pernah merasakannya. Sayangnya, ia harus melepaskan pekerjaan impiannya itu.
Ya, Hanafa sudah resmi mengundurkan diri dari dunia medis dua bulan yang lalu. Tepatnya di bulan ketiga usia kandungannya. Tentu berat untuk melepaskan gelarnya sebagai dokter bedah. Tapi setelah melalui pemikiran yang panjang, akhirnya ia berani mengambil langkah itu. Hanafa ingin menikmati peran menjadi seorang istri dan ibu yang sesungguhnya. Tanpa diganggu oleh hal lain. Ia ingin fokus mengurus suami dan anaknya nanti. Alasan itulah yang membuat Adnan juga ibu dan ayah mertuanya menyetujui keputusannya.
Hanafa duduk di sisi tempat tidur, memandang wajah lelap Adnan. Terlihat jelas guratan lelah di wajah tampannya itu. Namun pria itu tidak pernah mau menunjukkannya di hadapan Hanafa. Ia selalu berusaha terlibat baik-baik saja. Dan itulah yang membuat Hanafa kagum sekaligus khawatir. Hanafa khawatir dengan kesehatan Adnan. Bagaimanapun, dokter juga manusia, yang bisa merasakan sakit jika sudah mencapai batasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Hanafa
SpiritualSepenggal kisah dari dua anak manusia yang disatukan dalam bahtera rumah tangga tanpa cinta. Disaat salah satu pihak ingin mencoba menumbuhkan rasa, pihak lainnya masih tenggelam dalam kenangan masa lalunya. Berbagai kompromi pun dilakuk...