03. Awal Persahabatan

560 41 0
                                    

           " Sahabat adalah dia yang
        menerima segala kekurangan
                 dan kelebihan kita, "

            ~Hanafa & Zhelin ~           
       

.

.

.

                            

                              ***

          " Jadi, pasien mana dulu yang harus diperiksa?, " tanya Hanafa pada suster Zhelin, sambil berjalan beriringan di lorong rumah sakit.

          " Pasien atas nama ibu Ana, dok. Dari bangsal Lavender. Beliau dijadwalkan menjalani operasi besok lusa, dok. Dugaan sementara Peritonitis. Tekanan darah normal, dok, " ucap Suster Zhelin menjelaskan.

          Hanafa menimpalinya dengan anggukan tanda mengerti. Langkah mereka terhenti di depan sebuah ruangan yang berada di ujung koridor lantai dua.

Peritonitis : Suatu peradangan pada lapisan tipis di dinding bagian dalam perut (peritoneum).

          Hanafa mengapalkan kata 'Bismillah' terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam ruang inap pasien. Pandangannya lurus menatap seorang wanita paruh baya yang terbaring lemah di ranjang pesakitan. Hanafa melebarkan senyumannya, perlahan berjalan mendekati pasiennya itu, diikuti Ners Zhelin di belakangnya.
 
          " Assalamu'alaikum. Selamat pagi, ibu Ana?, " sapa Hanafa ramah.

          Perlahan wanita paruh baya itu membuka matanya, menatap sosok dokter muda nan cantik yang kini sudah berdiri di samping brankar tempatnya berbaring. Dengan mata sayu khas orang sakit, ia menjawab salam dari Hanafa.
 
          " Bagaimana keadaan ibu hari ini? Ibu mengelukan sakit di mana?, " tanya Hanafa.

          Ibu Ana hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. Hanafa mengangguk sekilas, lalu ia mengeluarkan stetoskopnya, lalu mengarahkan bagian diaphragm stetoskop itu pada perut ibu Ana.

Stetoskop : Alat bantu pemeriksaan yang umum digunakan oleh dokter. Berfungsi untuk mendengarkan suara dari dalam tubuh, salah satunya untuk mendengarkan suara detak jantung dan mendeteksi kelainan. (Sumber dari google)
 
          " Tarik nafas dalam-dalam ya, bu. Pelan-pelan aja, " titah Hanafa. Ibu Ana mengangguk pelan, tanda mengerti.
 
          " Apa di sini sakit, bu?, " tanya Hanafa lagi.
 
          " Akh, sedikit, dok, " jawab ibu Ana Sedikit meringis.
 
          " Untuk sementara, beri ibu Ana obat pereda nyeri, " titah Hanafa kepada suster Zhelin. Dia mengangguk paham mengambil suntikan dan menyedot cairan di dalam botol kaca kecil, lalu menyuntikkannya melalui selang infus pasien.

          " Ibu akan dijadwalkan menjalani operasi besok lusa. Kami memerlukan persetujuan dari pihak keluarga ibu. Apa ada pihak keluarga yang bisa dihubungi?, " bukannya menjawab pertanyaan Hanafa, wanita yang diperkirakan memasuki usia kepala lima itu malah menangis terisak.

          Hanafa dan Ners Zhelin saling memandang beberapa detik. Hanafa kemudian beralih mengusap lengan ibu Ana pelan. Mencoba memberi sedikit ketenangan.

          " Sebelumnya maaf jika saya lancang, bu. Tapi kenapa ibu menangis?, " tanya Hanafa sedikit cemas.
 
          " Saya rindu anak saya, dok. Dia satu-satunya keluarga saya. Suami saya sudah meninggal 7 tahun yang lalu, " jawab ibu Ana lirih di tengah isakannya.
 
          " Apa ibu sudah menghubungi beliau? Kalau boleh, ibu bisa memberikan nomer teleponnya kepada saya. Nanti biar saya yang akan menghubunginya. Ibu hafal nomernya, kan?, " ucap Hanafa.
 
          " Tidak, dok. Sudah lebih dari empat tahun saya tidak bertemu dengan anak saya. Semenjak dia melanjutkan pendidikannya di Kairo, " sahut ibu Ana memperbaiki posisi duduknya.

Takdir Cinta HanafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang