16. Rencana Honeymoon

646 30 1
                                    

                               ***

        Hari sudah semakin larut. Angin malam berhembus pelan menyapa kulit wajahku. Sudah sekitar sepuluh menit aku berdiri di balkon kamarku. Setelah makan malam, aku pamit lebih dulu ke kamar. Sementara mas Adnan masih belum kembali dari kamar Elena. Katanya sih tadi mau mendongengkan Elena sebelum tidur.

          Aku menatap ke angkasa lepas yang ditenggeri jutaan bahkan mungkin miliaran bintang yang berkerlap-kerlip. Sungguh indah ciptaan Allah. Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Allah benar-benar telah menciptakan nikmat yang begitu banyak untuk kita hambanya. Aku bersyukur karena bisa menikmati nikmat Allah ini.

          Aku menggosokkan kedua telapak tanganku, lalu meniupnya. Udaranya sudah semakin dingin. Tapi entah kenapa aku masih enggan beranjak dari balkon.

          Aku terkesiap kaget, saat sepasang lengan kekar menyelinap melewati pinggangku dan kini memblokade pergerakanku. Nafas hangatnya menerpa pipiku dari arah samping. Perlahan, aku mulai merasa nyaman berada dalam dekapannya. Tidak ada lagi penolakan.

          " Kamu nggak dingin, hm?, " tanyanya setengah berbisik di telingaku. Bulu kudukku merinding saat nafas hangat itu menelisik di telingaku.

          " Tadinya. Tapi sekarang udah hangat kok. Lebih hangat dari duduk di depan perapian malah, " jawabku asal. Semoga saja mas Adnan tidak mendengar degupan jantungku.

          " Kayaknya lebih hangat lagi kalau di tempat tidur deh, Han, " Sontak aku membulatkan mata, berbalik menatapnya nyalang. Perlahan, tanganku melayang di udara, dan menjepit pinggangnya. Aku tidak peduli meski sekarang mas Adnan sudah mengaduh kesakitan.

         " Aww, Hana. Sakit tahu, " gerutu mas Adnan.

         " Bodo! Lagian mas sih nyebelin banget. Nggak lucu tahu!, " aku kembali mendaratkan cubitanku di pinggangnya.

          " Siapa juga sih yang ngelawak, Han. Mending kita lanjut cubit-cubitannya di dalam aja. Biar lebih seru, " ujar mas Adnan tergelak, berlari menjauh saat aku sudah mengambil ancang-ancang untuk mencubitnya lagi.

          Aku tidak menyangka mas Adnan bisa sevulgar itu berucap. Astaghfirullahalladzim! Kayaknya otak mas Adnan harus dicuci pake alkohol deh biar steril.

          Malam pertama kami di rumah mama diwarnai aksi kejar-kejaran antara aku dan mas Adnan. Habisnya, dia tak hentinya menggodaku. Kalau sekarang aku pakai sendal, sudah pasti itu sendal aku timpukin ke kepala mas Adnan. Urusan dosa nanti deh aku diskusikan dengan Allah lewat tahajjut.

                                 ***

          " Selamat pagi, ratu syurgaku, " sapa Hanafa, melingkarkan kedua lengannya di pinggang sang mama, dengan kepala yang disandarkan di pundak kanan Anisah.

          Anisah tersenyum kecil sambil geleng-geleng melihat tingkah manja putrinya itu.

          " Kamu tuh ya, Han. Kalau datang tuh wong Assalamu'alaikum, "

          " Hehe. Assalamu'alaikum, mamaku sayang, "

          " Wa'alaikummussalam. Kamu manja sekali sih. Udah punya suami juga. Ngomong- ngomong suamimu mana?,"

          Belum sempat Hanafa menjawab, suara derap langkah kaki terdengar semakin jelas ke arah dapur. Benar saja, sosok lelaki tampan dengan senyuman yang semakin menambah berkali-kali lipat ketampanannya, berjalan mendekati meja makan.

Takdir Cinta HanafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang