01. Belajar Melupakan

920 47 0
                                    


" Masalalu adalah bagian dari
perjalanan hidup. Kita tidak
mengubahnya, apalagi
mengulangnya, "

~F.A~

.

.

.

***

          Bunyi klakson mulai terdengar bersahutan dengan decitan ban mobil yang mengerem mendadak. Mobil sedan berwarna hitam itu berguling-guling di jalanan ramai lancar, usai bertabrakan dengan mobil lain dari arah berlawanan. Kondisi kedua mobil rusak parah di bagian depannya. Apalagi mobil Sedan hitam itu berakhir menabrak pembatas jalan usai terseret sejauh 50 meter.

          Hanafa yang menjadi penumpang dalam mobil itu sudah tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. Darah segar tampak menutupi sebagian wajahnya. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya berusaha untuk tetap sadar, meski harus melawan rasa sakit disekujur tubuhnya. Rasanya beban berton-
ton jatuh menimpah tubuhnya.
 
         " M-mas Zayn, " lirih Hanafa berusaha untuk bangkit.

           Tanpa sadar air matanya jatuh membasahi kedua pipinya. Tatapannya terpaku pada sosok lelaki yang sudah berlumuran darah dengan wajah yang menempel di kemudi mobil. Dengan tenaga yang tersisa, Hanafa berusaha menggoyang-goyangkan tubuh kaku laki-laki yang dipanggilnya Zayn.
 
         " M–mas Zyan! Hiks...Mas, bangun...hiks...!, " air mata Hanafa kian deras mengalir. Namun lelaki yang berstatus calon suaminya itu masih enggan membuka matanya.
 
        " Mas Zayn! Aku mohon bangun. Jangan..hiks...tinggalin aku. Mas!, " isakan tangis Hanafa beradu dengan suara rintikan hujan yang menghantam bagian luar badan mobil.

         Dadanya berdenyut nyeri saat sosok lelaki yang dicintainya setelah ayahnya itu tetap tak sadarkan diri.

         " Mas Zayn! Hana mohon, bertahan, " teriak Hanafa dengan nada frustasi.
 
        " MAS ZAYN!!!, " teriak Hanafa seketika terbangun dengan sebelah tangannya terulur ke depan. Air peluh tampak membasahi kening hingga lehernya.

           Hanafa terenyak sejenak, mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Ia perlahan menghela nafas lega begitu menyadari semuanya hanya mimpi.
 
          " Ternyata cuma mimpi, " gumam Hanafa, mengusap wajahnya gusar, sambil terus beristighfar menyebut nama Allah.

          Hanafa melirik jam digital berbentuk balok yang ditaruh di atas nakas samping tempat tidurnya. Sudah pukul enam lebih tiga puluh menit.

         Ah, jika saja tadi ia tidak melanjutkan tidurnya selepas melaksanakan sholat subuh, pasti ia tidak akan bermimpi buruk seperti ini.
 
        Perempuan itu kembali mengusap wajahnya, lalu merapikan rambutnya yang sedikit lepek akibat keringat. Ia lalu berdiri dan berjalan gontai menuju Almarinya, mengambil beberapa potong pakaian, lantas masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Terdengar suara gemercik air dari shower yang bertubrukan dengan lantai.
 
             Tak lama kemudian, pintu kamar mandi kembali terbuka. Perempuan berusia 24 tahun itu nampak sudah rapi dalam balutan gamis berwarna soft pink, dengan khimar berwarna senada. Hanafa kemudian menuju meja riasnya, menatap dirinya dalam pantulan cermin. Ia menghela nafas beberapa detik, lantas meraih lipstick dengan warna pink alami dari kotak kayu kecil di atas meja riasnya, mengoleskan benda itu itu tipis di bibirnya. Tak lupa ia juga memoles tipis bedak di wajahnya. Hanafa memang selalu tampil dengan make up natural. Meski begitu, kecantikannya tetap saja terpancar secara alami.

Takdir Cinta HanafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang