24. Adnan Ngidam?

891 26 3
                                    

                                ***

          Pagi ini kediaman pribadi Adnan dan Hanafa dilanda kehebohan saat sang kepala keluarga mondar-mandir masuk ke dalam kamar mandi. Suara muntahan begitu jelas terdengar dari kamar mandi di salah satu kamar yang dihuni tuan dan nyonya rumah.

Hoek! Hoek!

          Dengan sisa tenaganya Adnan masih berusaha memuntahkan sesuatu yang terasa menggelitik tenggorokannya. Namun, yang dari tadi keluar hanya cairan bening. Entah sudah keberapa kalinya ia memuntahkannya.

          Dan dengan setia sang pendamping hidup menemaninya sembari membantu memijat tengkuk dan menopang tubuh sang suami yang sudah hampir tumbang saking lemasnya.

          " Masih mau muntah, mas?," tanya Hanafa, begitu melihat Adnan mencuci mulutnya dengan air di wastafel.

          " Masih, yang. Mual lagi. Hoek! Hoek!, " jawab Adnan dengan lirihan lalu kembali memuntahkan cairan-cairan bening.

          Hanafa kembali memijat tengkuk sang suami tanpa kenal lelah ataupun jijik melihat muntahan sang suami. Hanafa sendiri merasa kasihan pada suaminya itu. Dirinya yang hamil, tapi kenapa malah suaminya yang mengalami morning sickness. Ia jadi merasa bersalah kepada Adnan yang sudah terlihat begitu lemas. Kalau saja ia tak menopang tubuh Adnan, mungkin saat ini pria itu tak mampu untuk berdiri tegak dan sudah terkapar di lantai.

          Perut Adnan mulai bergejolak sehabis melaksanakan sholat subuh tadi. Ia mendadak mual dan ingin muntah saat mencium aroma bawang dari nasi goreng yang dimasak mbok Surti, ART di rumah mereka.

          " Udah, yang. Mas udah nggak kuat lagi. Lemes, " cicit Adnan dengan lemas. Perutnya sudah terasa enakan. Tapi ia masih lemas dan tak bertenaga bahkan untuk berdiri tegak saja rasanya tidak mungkin.

          Dengan sekuat tenaga Hanafa memapah tubuh Adnan yang lebih besar darinya keluar dari kamar mandi dan membaringkannya di atas tempat tidur. Dengan hati-hati, Hanafa meletakkan kepala sang suami di atas bantal, lalu menyelimutinya hingga sebatas perutnya.

          Tak lama, perut Adnan kembali bergejolak. Ia kembali merasa mual-mual dan ingin muntah. Tapi ia juga sudah tak punya tenaga lagi untuk berlari ke kamar mandi.

          " Masih pengen muntah, yang, " erangnya lemah. Rasa mualnya belum hilang, ditambah lagi kepalanya terasa pusing dan badannya lemas.

          Hanafa yang melihatnya pun semakin merasa kasihan dan juga bersalah. Yang ia bisa lakukan hanya memijat kening sang suami dengan sebelah tangannya lagi mengusap lembut punggung Adnan yang kini berbaring miring ke arahnya yang duduk disisinya dengan bersandar di kepala tempat tidur.

          " Mas istirahat sebentar, ya. Aku mau ke bawah dulu, buatin mas teh hangat. Semoga mualnya bisa hilang nanti, " tawar Hanafa.

          Namun Adnan menggelengkan kepalanya tanda tak mengizinkan sang istri untuk beranjak dari posisinya.

          " Kamu di sini saja, ya. Jangan tinggalin mas, " lirih Adnan, perlahan membuka matanya yang sejak tadi terpejam. Menatap sang istri dengan mata sayunya yang seakan kehilangan binar cerah.

         " Nafa cuma sebentar kok, mas. Cuma mau buatin mas teh anget. Abis itu balik ke kamar lagi. Kali ini aja mas jangan keras kepala. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana, " ujar Hanafa mencoba bersabar menghadapi suaminya yang sedang sensitif-sensitifnya.

          Harusnya dia yang mengalami itu semua. Tapi, sepertinya calon anaknya terlalu sayang kepada ibunya jadi ia tidak ingin menyusahkan Hanafa.

Takdir Cinta HanafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang