08. Kepergian Cinta Pertama

440 31 0
                                    

                              ***

          " Taksi!!! , "

          Hanafa melambaikan sebelah tangannya pada mobil yang menuju kearahnya. Mobil itu berhenti tepat di depannya. Ia lalu bergegas masuk ke dalam mobil.

         " Jalan, pak, " titah Hanafa pada lelaki paruh baya yang duduk di kursi kemudi.

          " Mau kemana, mbak?, " tanya lelaki paruh baya berkemeja biru langit itu.

          " Rumah sakit Cendrawasih ya, pak, " sahut Hanafa masih tetap menatap keluar jendela mobil, sambil sesekali menyeka air matanya. Pria itu mengangguk paham, kembali menatap lurus ke jalanan di depannya.

          Bayangan pengakuan Adnan di kafe tadi, masih terngiang di kepalanya. Rasanya sungguh sesak. Ia tidak bisa lagi menghentikan air matanya yang dengan sombongnya mengalir deras membasahi pipinya. Apa ini jawaban dari sholat istikharahnya? Tapi, kenapa hatinya terasa sulit untuk menerimanya.

                               ***

          Hanafa berjalan tanpa arah dan tujuan, dan berhenti di depan masjid yang terletak tak jauh dari rumah sakit. Tadinya ia ingin langsung ke rumah sakit. Tapi, ia takut jika nanti ia harus berhadapan dengan dokger Adnan. Jadi, ia memutuskan untuk berhenti di halte bis dekat jalan menuju rumah sakit Cendrawasi.

          Matanya nanar menatap bangunan tua yang masih terawat itu.
Mengingat dia belum sholat asar, membuat dirinya bergegas memasuki masjid itu.

          Saat ini hanya Allah tempatnya mengadu. Usai melaksanakan kewajibannya, Hanafa menumpahkan segala keluh kesahnya kepada-Nya. Isakan tangisnya terdengar begitu memilukan. Hanafa mencoba menyerahkan segalanya pada takdir Allah. Mungkin inilah yang terbaik untuknya.

          Saat dia ingin melangkah keluar dari masjid, tanpa sengaja pandangan Hanafa menangkap sosok laki-laki yang duduk dengan kaki menyilang di atas sajadah. Lelaki itu nampak sangat khusuk dengan murotal Al-Qur'an-nya. Hanafa terenyak sejenak, mendengarkan lantunan-
lantunan ayat Allah yang begitu merdu terdengar di telinganya.

          Astaghfirullah!, sebut Hanafa dalam hati. Sesegera mungkin ia menundukkan pandangannya. Saat Hanafa ingin berbalik dan melangkah ke luar masjid, langkahnya terhenti saat mendengar suara lembut seseorang yang mengucapkan salam padanya. Hanafa menoleh, membalas salamnya dengan pandangan tertunduk menatap lantai masjid.

          " Kamu dokter Hanafa, kan?," tanya laki-laki itu mengejutkan Hanafa.

          Perempuan itu seketika mendongak untuk melihat siapa lelaki di depannya. Hanafa mengerutkan keningnya, bingung. Dia merasa baru pertama kali ini melihat wajah laki-laki itu. Dari mana dia mengenalnya?

          " Saya Faizh. Anak ibu Ana yang dokter operasi 3 bulan yang lalu. Maaf, karena saya baru bisa menyapa dokter sekarang. Saya hanya melihat foto dokter bersama ummi di HPnya. Nggak nyangka kita bisa bertemu di sini, " ujarnya menjelaskan kebingungan Hanafa.

          " Oh, jadi kamu anaknya ibu Ana. Bagaimana kabar beliau sekarang?, "

          " Alhamdulillah, sudah semakin membaik, dokter. Em, sebelumnya saya minta maaf jika saya lancang, dok. Tapi apa dokter baru saja menangis?, "

          Hanafa terdiam sejenak. Dia jadi bingung, haruskah dia memberitahu Faizh mengenai masalahnya?

          " Ah? Um, itu sa–saya tidak apa-apa kok. Hanya ada masalah sedikit. In sya Allah saya masih bisa mengatasinya, " jawab Hanafa sungkan.

Takdir Cinta HanafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang