20. Maaf untuk apa?

805 98 12
                                    

"Kenapa Jungkook lama sekali bangunnya?."

Namjoon memutar bola matanya malas.

"Diamlah Jimin. Dia sedang istirahat, kenapa kau selalu berisik?."

Tanpa sadar ia sendiri menggunakan suara yang kencang. Sehingga Jungkook terbangun dan mengerjap perlahan.

"Namjoon bodoh! Suaramu membuatnya terbangun."

Yang disalahkan langsung berubah muka menjadi merasa bersalah. Padahal Jungkook tersenyum karena ia tidak sendirian saat membuka mata.

"Kenapa kalian disini?," tanya Jungkook.

"Kau sudah lama tidak masuk sekolah. Kami mengkhawatirkanmu. Lagipula masalah kemarin sudah tuntas, memang wali kelas kita yang menyebalkan."

Ah tentang itu. Ia sudah melupakannya, karena pikiran Jungkook sudah berfokus pada Seokjin.

Ia tidak sadar memasang ekspresi yang sedih, membuat Namjoon dan Jimin bereaksi.

"Kau baik-baik saja? Apa mau kupanggilkan dokter atau ayahmu," tanya Jimin.

Jungkook menoleh. Perhatian mereka begitu tulus, betapa beruntungnya ia memiliki kawan seperti mereka berdua.

"Aku baik Jim. Hanya saja hyungku tidak."

Mereka ikut terdiam mendengar suara Jungkook yang terdengar begitu sedih. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada kakak sahabat mereka, saat ingin bertanya, namun tiba-tiba pintu itu terbuka. Menampilkan wajah Yoongi yang muram.

"Yoongi Hyung?."

Tatapan Yoongi masih kosong. Ia tidak menyadari bahwa namanya dipanggil. Jika Jimin tidak meneriakinya.

"Yoongi Hyung kau kenapa tidak menjawab apa karena kau sudah mulai tua?."

Jimin memang agak kurang ajar.

"Perhatikan bicaramu anak ayam! Jika tidak ada Yoongi Hyung kita tidak akan bertemu dengan Jungkook," ucap Namjoon.

Yoongi yang seharusnya marah karena disebut tua, kini tidak bereaksi apa-apa. Ia mendekat kearah Jungkook yang menunduk. Wajah mereka sama-sama terlihat tidak baik.

"Kook?."

Ia menoleh.

"Tolong maafkan Seokjin yang kemarin mengusirmu..

Ia tidak bermaksud seperti itu."

Jungkook paham. Ia juga tidak sedikitpun marah atau membenci Hyungnya. Walau memang kalau diingat-ingat perkataannya begitu kasar.

"Dia tidak ingin kau khawatir dengan keadaannya. Seokjin ingin kau bahagia bersama kedua orang tuamu. Keadaannya semakin memburuk karena komplikasi hemofilia, bahkan ia sudah tidak bekerja lagi saat kau mulai tinggal dengan mereka."

Ucapannya membuat Jungkook termenung.

"Apa karena itu Hyung mengusirku?," tanya Jungkook.

Yoongi mengangguk "Ia sudah tidak bisa lagi membiayaimu dengan tubuh lemahnya."

"Tapi Hyung aku dan Jinhyung bisa tinggal bersama dirumah Appa! Jin Hyung tidak perlu lagi bekerja keras."

Ia memalingkan wajahnya kesamping. Seokjin melarangnya mengatakan tentang perlakuan mereka tapi keadaan Jin membuatnya terpaksa. Andai Jin bisa menjaga dirinya dengan baik dan tidak terluka, mungkin ia tidak akan mengatakan pada Jungkook.

"Ia tidak bisa."

"Mengapa? Mengapa Hyung selalu tidak mau? Bukankah itu memang keinginan Seokjin Hyung agar tidak tinggal bersamaku la--"

"Itu karena mereka tidak ingin Seokjin ikut!! Mereka hanya ingin membawamu! bukan Seokjin!!."

Nafasnya memburu karena marah. Yoongi mengatakannya lantang bahkan membuat Jimin dan Namjoon yang sedari tadi hanya memerhatikan kini terkejut dan ikut bergetar takut.

"Mereka tidak mau membawa Seokjin karena sejak kecil memang ia tidak pernah mendapat kasih sayang asal kau tau!."

Ia akan menerima konsekuensi atas perkataannya, biarkan saja Jin marah padanya nanti. Sekarang Jungkook sudah paham. Ia sudah dewasa, sepatutnya mengerti dengan masalah keluarganya sendiri.

"Seokjin sakit. Sejak kecil ia tidak dipedulikan dan hanya dianggap beban bagi mereka."

Yoongi menunduk, ia menangis karena teringat bagaimana Seokjin menceritakan hal itu dengan wajah tanpa ekspresi.

Jungkook diam. Ia tidak bereaksi apapun.

Yang ia rasakan hanya kekecewaan dan luka. Jadi selama ini mereka hanya menyayanginya? Tidak menyayangi Jin Hyung? Hanya karena dia sakit.

Bahkan selama ini Jin Hyung tidak pernah mengeluh, ia selalu mengatakan hal baik tentang Appa dan Eomma. Menyuruhnya agar memaafkan mereka, tidak mendendam dan berusaha membuka diri.

Tapi hal itu malah melukai diri Seokjin sendiri.

"Seokjin hyung, kenapa kau menutupinya?."





...




"Maafkan aku... cepatlah bangun Seokjin. Hukum aku! Pukul dan hina aku seperti aku menghinamu! Kau harus hidup agar bisa membalas semua perbuatanku.."

Haesol hanya diam memandangi sang suami yang sedari tadi memggenggam erat tangan anak sulungnya. Woosan terlihat menyedihkan, namun ia juga begitu. Bukankah ia yang harusnya mengemis maaf? Jika bukan karenanya, Seokjin tidak akan seperti ini.

Namun jika ia tidak mengorbankan dirinya demi Haesol, mereka tidak akan punya rasa sesal dan tetap membuat Jin selalu terluka.

Tadi Woosan datang dan langsung memeluknya dengan luka robek dan air mata mengalir tak henti dari pelupuk indah itu.

Ia mengucapkan kata sesal dan maaf berulang-ulang mengenai Seokjin.

Haesol mendelat, mengusap punggung suaminya dengam halus. Lalu tubuhnya condong kedepan, mendekatkan wajahnya diatas kepala Seokjin.

Cup

Ia mengecup pucuk kepala Seokjin beberapa detik, bahkan air mata itu menetes jatuh diatas pipinya.

"Enghhma...."

Suara itu. Suara yang lemah dan berbisik, terdengar masuk kedalam telinganya. Ia melepas ciuman itu dan menggenggam tangan Jin.

"Seokjin? Buka matamu nak! Ini Eomma.."

Seolah perintah ratu, mata itu terbuka perlahan namun hanya sanggup setengah. Pandangannya buram namun ia yakin dihadapannya adalah seorang Ibu yang kehadiran dam sentuhannya ia nanti sejak lama.

Matanya beralih pada sosok lelaki disamping sang ibu.

Dia adalah Woosan. Sosok yang selalu ia ceritakan sebagai pahlawan pada Jungkook kala mereka pergi dan Adiknya mulai membenci.

"Phaa.."

Hanya satu suku kata yang sanggup ia ucapkan. Air mata itu mengalir ke pipinya. Seokjin menangis. Ia senang bisa berada diantar orang yang ia sayang.

Walau disisi lain ia membenci karena keadaannya yang lemah. Ia benci karena tidak bisa membalas genggaman erat kedua tanganya. Ia benci tidak bisa bertanya kepada sang Appa tentang luka dipipinya.

Ia ingin bertanya tentang Jungkook tapi mulutnya terlalu lemas untuk digunakan.

"K-khkookie.."

Akhirnya ia bisa mengatakan nama itu. Walau selanjutnya mata Jin kembali memberat namun ia bisa mendengar kalimat terakhir dari sang ibu.

"Jungkook baik-baik saja."

Ia lega. Senyum tipis terulas diwajah pucat itu sampai dimana ia kembali tertidur karena rasa kantuk dan lelah menyerangnya.



















TBC

Surpriseee~

Bawa Aku Juga.. (JINKOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang