Sudah beberapa hari ini Anin tidak masuk kerja. Karena harus menjaga anaknya di rumah sakit. Bocah berusia tiga setengah tahun itu sedang sakit demam berdarah.
“Nda, udah,” rengek Langit—anaknya Anin saat ibunya akan kembali menyuapkan bubur ke mulut mungilnya.
“Satu lagi ya, Sayang. Langit pengen cepet sembuh kan,” bujuk Anin agar anaknya mau menerima suapannya.
“Langit pengen sembuh nda, tapi bubulnya nggak enak,” ujar anak itu memelas yang membuat Anin tidak tega untuk memaksanya. Iya Langit memanggil ibunya nda singkatan dari bunda.
“Ya udah kalau gitu ini susunya dihabisin ya.” Anin menyodorkan segelas susu yang langsung diterima anak laki-lakinya.
Langit meminum susu itu hingga tandas, kemudian mengembalikan gelas yang sudah kosong itu kepada ibunya.
“Nda, ayah tau nggak kalau Langit sakit?” tanya Langit polos, tapi pertanyaan itu cukup menyesakkan untuk Anin.
Selama ini setiap Langit menanyakan ayahnya Anin selalu bilang kalau ayahnya sedang kerja jauh dan belum bisa pulang.
“Ayah tau kok. Ayah bilang, Langit harus nurut kata dokter biar cepet sembuh,” bohong Anin untuk kesekian kalinya.
“Ayah masih belum bisa pulang ya nda? Padahal Langit pengen ketemu ayah.” Mata anak itu mulai berkaca. Anin sebenarnya tidak tega terus-terusan membohongi Langit, tapi dia bisa apa? Langit masih terlalu kecil, belum saatnya mengetahui keadaan yang sebenarnya.
“Kok ayah nggak pelnah telepon atau video call ya nda? Tante Kinan seling video call Langit padahal tante Kinan kan keljanya jauh juga.” Lanjut Langit saat ibunya masih saja diam, tak menjawab pertanyaannya.
Anin manangkup pipi anaknya. “Langit dengerin bunda ya, Nak. Ayah itu kerjanya jauh dari kota, di tempat ayah nggak ada sinyal buat telepon atau video call. Ayah bisanya cuma kirim pesan. Kalau tante Kinan kan tinggalnya di kota jadi bisa video call.”
“Oh, gitu ya nda.” Setelah mendengar penjelasan dari ibunya Langit sekarang mulai mengerti kenapa selama ini ayahnya tidak pernah menghubunginya.
“Iya, sekarang lebih baik Langit bobo. Jangan mikirin ayah terus nanti kalau uang ayah udah banyak ayah pasti pulang ketemu Langit,” ucap Anin mencoba untuk menyakinkan anaknya.
"Oke, ndaa. Langit bobo dulu ya nda," ucap Langit kemudian menarik selimutnya hingga sebatas dada.
"Iya anak gantengnya bunda. Mimpi indah ya sayang," ucap Anin kemudian mencium kening anaknya.
Tak butuh waktu lama untuk Langit memasuki alam mimpi. Mungkin itu efek dari obat yang sebelumnya dia minum.
Anin mengelus kepala Langit lembut. Ditatapnya wajah polos anaknya. Hatinya terasa teriris tanpa terasa air mata yang sejak tadi dia coba tahan akhirnya tumpah juga mengingat akan kerinduan Langit terhadap ayahnya.
“Maafin bunda, Nak. Bunda minta maaf sudah bohong sama Langit. Bunda janji suatu saat nanti bunda akan mempertemukan Langit dengan ayah. Tapi, tidak sekarang, kamu sabar ya,” lirih Anin sambil menciumi wajah tampan anaknya. Wajah yang selalu mengingatkan Anin pada ayah kandung Langit karena wajah mereka sangatlah mirip.
🦋🦋
“Langit udah tidur?” tanya Mika saat memasuki ruang rawat Langit. Wanita itu menghampiri Anin, meletakkan sebuah kantong plastik dengan logo salah satu restoran di meja tempat Anin berada.
Anin yang tadinya fokus dengan laptop sedikit terkejut karena tidak mendengar suara pintu dibuka. Mungkin karena dia terlalu fokus.
“Baru aja tidur,” sahut Anin.
Tak berapa lama wanita itu menghentikan pekerjaannya saat mencium aroma makanan yang sangat menggoda. Perutnya tiba-tiba keroncongan minta diisi.
“Makan dulu nih.” Mika menyodorkan stereofom yang berisi nasi goreng seafood.
Anin mulai menyendok nasi goreng itu. Begitupun Mika, dua wanita itu sudah sibuk dengan salah satu makanan favorit mereka itu.
“Nin, Dion tadi komen di ig gue, masak dia bilang Langit mirip dia,” ucap Kinan disela kunyahannya.
Anin tersedak mendengar ucapan Mika. Dia buru-buru mengambil air di gelas dan meminumnya. Napsu makan Anin langsung hilang dalam sekejap.
“Kan udah gue bilang jangan posting foto-foto Langit. Kalian pada ngeyel sih,” sesal Anin pada kelakuan kedua sahabatnya yang sering mengupload foto Langit, Anin sudah sering melarang, tapi mereka tetap memaksa.
Anin melarang mereka bukan karena pelit atau apa, tapi wanita itu takut kalau Dion mengetahui siapa Langit. Karena wajah mereka sangatlah mirip.
“Tapi kan udah lama Dion nggak aktif ig ya. Ya gue pikir dia udah nggak bakal buka ig lagi,” dalih Mika membela diri.
“Tapi sekarang kenyataannya Dion buka ignya lagi kan? Kalau udah begini gimana? Kalau dia curiga terus nyari tau tentang Langit gimana?” Perasaan takut mulai menyusup di hati Anin. Matanya mulai berkaca.
Mika hanya diam, perasaan bersalah menjalar merasuk ke dalam hatinya.
“Selama nggak ada yang buka mulut Dion nggak bakal tau. Percaya sama gue.” Mika mencoba meyakinkan Anin.
“Mudah-mudahan aja begitu. Kalau sampai Dion tau gue udah nggak tau lagi mau berbuat apa. Selama ini gue nyembunyiin Langit bukan karena gue gak mau Dion mengetahui yang sebenernya, tapi gue takut dia menolak Langit dan itu bakal bikin gue sakit terlebih Langit. Gue nggak rela ngelihat Langit terluka. Selama ini dia sudah cukup tersiksa karena tidak pernah mengenal ayahnya.” Air mata Anin meluncur begitu saja. Baru tadi Langit menanyakan ayahnya dan sekarang mendengar informasi seperti ini.
Mika mendekati Anin dan membawa sahabatnya itu ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan Anin, rasa bersalahnya semakin membesar melihat Anin seperti ini.
“Maafin gue, Nin. Gue salah harusnya dari awal gue dengerin omongan lo,” sesal Mika. “Apa gue hapus-hapusin aja foto Langit?”
Anin mengusap air matanya dan melepas pelukan Mika.
“Jangan. Kalau tiba-tiba di hapus-hapusin nanti dia curiga. Biarin aja, seperti yang lo bilang kalau nggak ada yang buka mulut Dion nggak bakalan tau.”
Mika mengangguk mengerti, kalau dipikir benar juga nanti Dion malah akan curiga kalau tiba-tiba dia menghapus foto-foto Langit. Sekarang mereka hanya bisa berdoa semoga Dion tidak pernah tahu kalau Langit itu darah dagingnya.
Next?
13 Agustus 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHITA STORY (TAMAT)
ChickLit[Selesai] Gimana sih rasanya sahabat yang sudah menemani lebih dari setengah umurmu dan yang paling kamu percaya, ternyata tanpa sengaja menghancurkan hidupmu? Sedih? Pasti. Sakit? Jelas. Benci? Harusnya begitu, tapi kalau dia juga adalah laki-laki...