Part 3b

2.8K 234 11
                                    

Aku sedang menonton televisi saat mendengar bunyi bel pintu.  Kulirik jam di dinding menunjukkan jarum pendek di angka lima. Pasti si kampret Dion. Memang gila itu orang ngapain coba balik ke sini lagi. Gak bosen apa kemarin udah di sini seharian masih ditambah nginep pula.

Dengan malas aku membuka pintu. Dan benar dugaanku Dion berdiri di hadapanku memamerkan senyum manisnya. Kenapa sih dia mesti ganteng gitu, apalagi kalau senyum kelihatan lesung pipinya. Gimana aku gak susah move on coba.

Aku menggelengkan kepala mengusir pikiran bodohku.

“Kenapa lo geleng-geleng. Lagi ngeganja lo?” Kekehnya sambil menerobos masuk.

“Tolong omongan dijaga ya, Pak,” sahutku kesal.

Lihatlah dengan santainya dia merebahkan dirinya di sofa.

“Lo udah mandi belum? Kalau belum buruan mandi gih!”

“Males, lagian gak ada acara mau ke mana-mana mending gue mandi entar maleman.”

“Lo pikir gue ke sini mau ngapain?”

“Ya mana gue tau,” sahutku cuek.

“Mau ngajak lo jalan, ogeb. Udah buruan mandi sana!”

Aku memutar bola mataku malas. “ Emang mau ke mana, sih?”

“Ke mana kek. Nonton, nyari makan, apa ke kota tua juga boleh,” jawabnya santai.

Akhirnya dengan malas aku beranjak ke kamar mandi. Mungkin dengan jalan ke luar bisa sedikit mengurangi bebanku, walaupun sebenarnya aku gak yakin akan itu.

Aku sengaja berlama-lama di kamar mandi. Biarin aja dia nunggu lama. Lagipula ini sudah mau magrib, lebih baik berangkat selesai sholat magrib sekalian.

**

Setelah menembus kemacetan selama kurang lebih satu jam, akhirnya mobil Dion belok ke  sebuah restauran ayam bakar yang akhir-akhir ini cukup populer.

Aku mengedarkan pandanganku saat masuk. Restauran ini mengusung tema tradisional yang yang kental, terlihat dari furniture yang digunakan cukup unik. Kita seperti di bawa ke masa-masa jaman dulu, tapi walaupun bertema tradisional restoran ini juga menyediakan spot foto yang cukup menarik. Hingga membuat pengujung merasa sangat nyaman berlama-lama di sini.

Dion menarikku menuju sebuah meja yang terletak dekat jendela. Dari sini aku masih bisa melihat sibuknya jalanan di luar sana.

Setelah memesan makanan kami sama-sama terdiam sibuk dengan ponsel masing-masing. Kalau dipikir miris juga hidup di era ini. Walaupun bersama, tapi tidak benar-benar bersama karena fokusnya terbagi dengan benda canggih yang tak pernah absen dari jangkauan pemiliknya.

“Kalian di sini?” sapa seorang wanita. Setelah aku mendongakkan kepala, ternyata sudah ada Aira.

“Kamu juga kok di sini?” Dion balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Aira.

“Dari rumah Tante, tapi pas pulang Mama pesen minta dibeliin ayam bakar. Jadi mampir sini deh,” sahut Aira dengan suara lembutnya.

“Duduk, Ra. Berdiri aja kek satpam,” candaku.

“Boleh?” tanyanya seperti ragu.

“Ya bolehlah. Ngaco lo, Dion kan cowok lo masak makan bareng cowoknya gak boleh,” kekehku pelan. Lagi-lagi aku harus berakting seolah baik-baik saja di depan mereka, padahal dalam hati sudah mulai terasa sesak.

“Oh, iya lupa,” kekeh Aira sambil duduk di sebelah Dion.

“Yang sabar ya, Pak,” ucapku sambil menepuk bahunya seolah-olah prihatin.

Dion masih sibuk dengan ponselnya tanpa menghiraukan percakapanku dengan Aira.

Ponsel Aira berbunyi tak lama setelah Dion meletakkan ponselnya. Kemudian mereka terlihat saling melempar senyum. Ya Allah, kenapa sih aku harus ada di antara mereka.

Sepanjang makan malam kali ini aku lebih banyak diam. Sesekali menjawab pertanyaan mereka.

Dion dan Aira saling bercanda sesekali Dion mengelus kepala Aira lembut. Kenapa sih harus melihat mereka mesra-mesraan seperti ini? Aku menyesali keputusanku hari ini. Harapanku agar bisa sedikit melupakan kesedihanku pupus sudah, yang ada dada ini terasa sangat sesak lebih dari sebelumnya. Malam ini moodku seperti terjun ke ujung jurang.

Mau lanjut, gak?

ANINDHITA STORY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang