Part 18 (END)

6.3K 220 43
                                    


“Ma…," panggilku saat memasuki pagar rumah. Mama terlihat sedang menyiram bunga di halaman. Memang kebiasaan Mama saat weekend pasti mengurusi taman bunganya itu.

“Eh, Sayang. Kenapa baru pulang? Padahal mama udah kangen,” sahut mama dengan wajah berbinar.

Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan. Aku tak mampu membayangkan akan mendatangkan air mata pada wajah dengan binar bahagia itu.

“Iya, kemaren ke acara pertunangan temen Anin. Pulang dari sana ketiduran nyampe malem.”

“Ya udah masuk yuk. Kamu udah sarapan belum?”

“Belum. Mama masak apa?”

Tadi bangun tidur aku langsung ke sini. Bahkan Dion yang masih tidur pulas di apartemen kutinggalkan begitu saja. Karena di dalam pikiranku ingin cepat bertemu Mama. Mungkin memang sudah saatnya aku jujur sama Mama mengingat aku tidak mungkin jujur kepada Dion. Aku berharap seenggaknya Mama bisa jadi penopangku menghadapi semua ini.

“Cuma masak nasi goreng aja,” sahut Mama.

**

“Ma, ada yang mau Anin bicarain sama Mama,” ucapku setelah menyelesaikan sarapanku. Sekarang kami sedang berada di depan televisi menonton infotaiment favorit Mama.

“Mau bicara apa? Tumben banget mau bicara aja pake izin dulu,” sahut Mama sambil terkekeh.

“Ma….” Aku tak mampu melanjutkan ucapanku. Mulut rasanya seperti terkunci, dan mataku mulai berkaca mungkin sebentar lagi air mataku akan meluncur dengan derasnya. Jujur aku tidak ingin melihat wajah teduh Mama akan berurai air mata.

“Hei, anak mama kenapa? Cerita, Nak. Ada mama,” ucap Mama terlihat khawatir. “Sayang kamu kenapa?”

Bukannya menjawab pertanyaan Mama. Aku justru semakin terisak dengan tangan yang menangkup wajahku.

Mama meraih tubuhku mencoba menenangkan aku dalam pelukannya, tapi yang terjadi tangisku semakin kencang. Rasa bersalah semakin besar, aku sudah menyakiti dan mengecewakan wanita tegar yang sedang mendekapku.

“Anin, bicara sayang. Kamu kenapa? Jangan seperti ini,” ucap Mama sambil mengelus pundakku.

“Maafin Anin, Ma. Maafin Anin. Anin gak bisa jaga diri Anin,” lirihku di sela isak tangis.

Mama menangkup wajahku. Menuntun wajahku agar menatapnya. “Sekarang cerita sama mama, kamu kenapa, Sayang?”

“Anin… Anin hamil, Ma.”

Dan dugaanku tak melesat, sorot kekecewaan terpancar jelas dalam tatapan matanya. Mata itupun perlahan mengeluarkan cairan bening. Mama terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun mungkin terlalu shock dengan pengakuanku.

“Ma… maafin Anin. Anin udah ngecewain Mama. Maafin Anin. “ Aku berlutut di bawahnya, kugenggam tangan lembut Mama yang sedikit bergetar, mungkin karena sedang menahan emosinya.

Setelah cukup lama kami saling terisak, akhirnya Mama mau mengeluarkan suaranya. “Siapa ayahnya?” tanya Mama lembut. Setelah dia terlihat lebih tenang.

Aku tak mengerti dengan pikiran Mama disaat aku sudah mengecewakannya terlalu dalam, tapi beliau masih memperlakukanku selembut ini. Dadaku semakin sesak karena dihantui rasa bersalah yang teramat dalam.

“Dion, Ma,” jawabku jujur. Aku sudah tak ingin menyimpan semua ini sendirian.

Mama terlihat kaget mendengar pengakuanku. “Kamu sudah bicara sama dia? Dan sejak kapan kamu pacaran sama Dion?”

Aku menggelengkan kepala pelan. “Anin gak berani bilang sama dia, Ma. Semua terjadi diluar kendalinya.”

“Maksudnya?” Mama terlihat bingung dengan jawabanku.

ANINDHITA STORY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang