Langit sudah terlihat gelap saat aku melihat keluar melalui kaca jendela. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Kutengok jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Aku merentangkan kedua tangan untuk melonggarkan otot tubuh. Kulihat Kinan— salah satu teman dekatku masih sibuk di depan layar monitornya. Memang aku dan Kinan sering lembur menjelang weekend agar saat libur gak kepikiran kerjaan.
“Ki, masih lama, gak?”
“Gak, dikit lagi nih. Tanggung,” sahutnya tanpa menatapku.
Aku merapikan meja kerjaku, menata beberapa kertas dokumen yang masih berantakan. Sambil menunggu Kinan menyelesaikan pekerjaannya.
Kepalaku terasa sedikit pusing. Mungkin karena kurang tidur dan juga pekerjaanku hari ini yang cukup padat. Tapi aku bersyukur karena pekerjaan hari ini yang menguras pikiran membuatku tak terlalu memikirkan kejadian semalam. Walaupun gak dipungkiri bayangan peristiwa pahit itu masih terus menari-nari di otakku.
Aku memejamkan mata sambil memijat kepalaku pelan. Berharap rasa pusing di kepalaku akan berkurang.
“Nin,” panggil Kinan.
“Ya.” Aku membuka mata ternyata dia sudah berdiri di depanku.
“Lo nangis?”
Kurasakan cairan hangat mengalir di pipiku. Ternyata tanpa sadar aku kembali menangis.
“Gak, kok. Mungkin karena ngantuk aja, jadi keluar air mata,” elakku.
“Yakin? Gue perhatiin lo seharian ini banyak ngelamun?”
“Gapapa, Ki. Udah yuk balik. Mampir nyari makan dulu ya, gue laper,” ajakku. Sebenarnya itu hanya alasan karena aku sedang males buru-buru pulang.
“Tadi katanya udah ngantuk.”
“Entar kalau udah makan gak jadi ngantuk,” jawabku asal sambil menarik tangan Kinan. Dia hanya menggelengkan kepala dengan tatapan bingung.
**
Walaupun sudah lewat dari jam pulang kantor, tapi jalanan di ibukota masih cukup padat. Setelah hampir setengah jam bermacet-macet ria di jalan akhirnya Kinan membelokkan mobilnya ke sebuah warung tenda nasi goreng langganan kami.
“Mang, nasi goreng dua ya!” teriaknya setelah keluar dari mobil.
“Oke, Neng. Seperti biasa ‘kan?”
“Iya,” sahutnya. Lalu dia mendekatiku yang lebih dulu duduk di bangku yang terletak di pojokan.
Kinan terlihat mengotak-atik ponselnya. Sedangkan aku lebih memilih melihat hilir mudik kendaraan di jalan yang masih cukup ramai.
Aku menjambak rambutku pelan. Kenapa bayangan peristiwa semalem terus menghantuiku. Tak bisa kah pergi barang sejenak, umpatku dalam hati.
“Nin … Anin!” Kinan memanggilku cukup keras.
“Eh … apa? Gak usah teriak-teriak juga kali.”
“Lo dipanggil dari tadi gak nyaut. Ngelamun mulu, lo gapapa?”
“Gue gapapa kok. Emang gue kenapa?” Aku balik bertanya seolah-olah memang gak terjadi apa-apa.
“Yakin? Lo lagi ada masalah ya?” selidiknya sambil menatapku.
Aku sama Kinan memang cukup dekat. Kami saling berbagi cerita di kala sedang menghadapi masalah, tapi kali ini aku belum siap untuk menceritakan semuanya.
Kinan masih menunggu jawabanku. “Gue masih sahabat lo kan, Nin?” tanyanya saat aku belum juga mau menjawab pertanyaannya.
“Ya masih lah. Ngaco,” sahutku sambil tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHITA STORY (TAMAT)
ChickLit[Selesai] Gimana sih rasanya sahabat yang sudah menemani lebih dari setengah umurmu dan yang paling kamu percaya, ternyata tanpa sengaja menghancurkan hidupmu? Sedih? Pasti. Sakit? Jelas. Benci? Harusnya begitu, tapi kalau dia juga adalah laki-laki...