Seperti janji waktu itu, hari ini aku pulang ke rumah. Ku lirik jam di pergelangan tangan, masih jam setengah lima sore. Kok rumah kelihatan sepi, biasanya kalau jam segini Bi Inah—asisten rumah tangga sedang menyiram bunga di halaman rumah. Mobil Mama pun belum terlihat. Mungkin beliau belum pulang.Aku merebahkan badan di sofa setelah masuk ke dalam rumah. Ya, aku memiliki kunci cadangan, jadi sewaktu-waktu pulang tidak perlu merepotkan orang rumah.
“Loh, Neng Anin kapan dateng kok gak kedengeran?” Aku menoleh saat menyadari keberadaan Bi Inah.
“Baru aja nyampe, Bi,” sahutku sopan kemudian mencium punggung tangannya. Bagiku beliau bukan hanya asisten rumah tangga, tapi juga orang tua keduaku. Beliau sudah bekerja pada keluargaku sejak aku belum lahir. Dan juga sejak kecil orang tuaku selalu menasehati untuk bersikap sopan kepada orang yang lebih tua, tanpa memandang status sosialnya. Karena kita semua sama di hadapanNYA, hanya kadar keimanan yang membedakan.
“Kirain udah lama. Mau dibikinin minum apa, Neng?”
“Gak usahlah, Bi. Nanti aku bikin sendiri. Bi Inah duduk sini aja!” perintahku sambil menepuk sofa di sebelahku. “Mama belum pulang ya, Bi?”
“Ibu beberapa hari ini sering pulang larut, Neng. Kalau pulang kelihatan capek banget, kadang Bibi ngerasa kasihan,” adu Bi Inah dengan muka sedih.
Kuembuskan napas pelan. Sebenarnya aku juga kasian, tapi mau bagaimana lagi. Aku belum siap untuk membantu Mama mengurus perusahaan itu.
“Neng, kok gak kerja di kantor sendiri aja, daripada harus kerja ikut orang lain?” tanya Bi Inah saat aku cukup lama terdiam.
“Ya gimana ya, Bi. Perusahaan Papa kan bukan perusahaan kecil, banyak orang yang menggantungkan hidupnya di sana untuk menafkahi keluarganya. Kalau aku nekat membantu di sana tanpa pengalaman yang mumpuni, takutnya entar perusahaannya bangkrut. Kan kasian karyawannya," jelasku panjang lebar.
Bi Inah hanya terdiam mungkin sedang memikirkan ucapanku.“Yang penting doain aku sama Mama sehat terus ya, Bi. Bi Inah juga sehat terus, kalau ngerasa capek istirahat jangan dipaksain,” pesanku sambil mengelus pundaknya.
“Kalau itu mah udah pasti, Neng. Tiap hari Bibi pasti doain yang terbaik buat keluarga ini. Keluarga yang sudah berbaik hati menerima keberadaan Bibi yang sebatang kara ini,” ucapnya sambil tersenyum, tapi mata teduh itu berkaca.
Ya, Bi Inah hidup sebatang kara setelah suami dan anaknya meninggal dalam sebuah kecelakaan.
Kupeluk pundaknya sambil kuelus pelan. “Fitri ke mana, Bi?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, agar Bi Inah tidak sedih. Lagipula sejak tadi tak melihat gadis berusia dua puluh tahun yang sudah kuanggap seperti adik itu, biasanya dia paling semangat menyambutku saat aku pulang ke rumah.
Fitri sama seperti Bi Inah, dia hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya sudah meninggal. Beberapa tahun lalu dia ikut Bi Inah ingin kerja di sini. Karena sikapnya yang santun dan juga cerdas Mama memutuskan untuk membiayai kuliahnya sambil tetap bekerja di sini agar dia tak merasa sungkan. Terkadang dia juga membantu pekerjaan kantor yang dibawa pulang Mama.
“Belum pulang, Neng. Katanya lagi ngerjain apa gitu yang buat lulus itu jadi sibuk terus. Tapi, walaupun sibuk sebelum pergi dia udah nyelesain kerjaannya dulu,” sahut Bi Inah dengan raut bangga. Ya, memang Fitri patut untuk dibanggakan selain memiliki semangat yang tinggi dia juga sangat rajin dan cekatan.
“Persiapan skripsi itu namanya, Bi,” ucapku sambil terkekeh.
“Ya, itu,” ucap Bi Inah semangat.
“Ya udah, aku mau ke atas dulu ya, Bi. Nanti kalau Mama pulang bilangin aku udah dateng. Kalau gak, bisa ngomel-ngomel,” kekehku. Kemudian aku meninggalkannya yang masih duduk di sofa.
Saat akan merebahkan tubuh di tempat tidur, ponselku berbunyi menandakan ada notifikasi pesan masuk. Dengan malas aku meraih benda persegi itu dari atas nakas. Ternyata pesan dari Mas Bagas. Ya, waktu dia mengantarku pulang kami sempat bertukar nomer telepon.
“Nin, besok ada acara, gak?” Bunyi pesan yang terlihat di layar ponsel.
“Belum tau. Memangnya kenapa, Mas?” balasku.
“Gapapa sih, kalau gak ada acara tadinya mau aku ajak jalan,” balas orang di seberang sana.
“Oh, nanti aku tanya Mama dulu. Takutnya Mama mau ngajakin pergi. Soalnya udah dua minggu aku gak ketemu sama beliau.”
“Oke, nanti kabari aja ya bisa apa enggaknya,” balasnya sambil diselipi icon senyum.
“Oke, Mas,” balasku juga ikut-ikutan menyelipkan icon senyum.
Setelah berbalas pesan kuurungkan niat untuk rebahan. Dan bergegas ke kamar mandi soalnya kalau Mama pulang dan aku belum mandi bisa-bisa diceramahi selama tujuh hari tujuh malam.
11 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHITA STORY (TAMAT)
ChickLit[Selesai] Gimana sih rasanya sahabat yang sudah menemani lebih dari setengah umurmu dan yang paling kamu percaya, ternyata tanpa sengaja menghancurkan hidupmu? Sedih? Pasti. Sakit? Jelas. Benci? Harusnya begitu, tapi kalau dia juga adalah laki-laki...