Part 17

3.2K 198 18
                                    


Aku merebahkan tubuh di sofa, badan ini terasa sangat lelah. Padahal, hari ini hanya pergi ke acara pertunangan Bang Gilang. Mungkin memang ibu hamil lebih cepat capek.

Aku mengusap perut yang belum terlihat membuncit ini dengan pelan. “Sayang, kamu lagi ngapain di dalem? Kangen sama Ayah, gak? Bunda kangen sama Ayah kamu. Udah hampir dua minggu bunda gak ketemu Ayah kamu,” aduku pada makhluk kecil di dalam perut.

“Maafin bunda ya, Sayang. Kalau sampai saat ini masih nyembunyiin keberadaan kamu dari Ayah sama Oma. Tapi, bunda janji nanti kalau udah nemu waktu yang pas, bunda bakal jujur sama mereka. Kamu tenang aja. Sehat-sehat di perut bunda sampai kita ketemu nanti." Bibirku tersungging membayangkan nanti kalau dia lahir, pasti dia sangat lucu seperti bayi-bayi yang sering kutemui.

Aku sangat menyayangi bayi ini. Meskipun, kami belum bertemu dan juga dia hadir dari sebuah kesalahan. Mungkin ini yang dinamakan ikatan batin antara ibu dan anak.

Kulirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Kenapa hari ini waktu berlalu begitu cepat. Aku beranjak dari sofa, berniat untuk mandi. Namun, langkahku terhenti saat mendengar bunyi bell pintu. Dengan malas aku menghampiri pintu kayu bercat coklat itu.

Saat pintu terbuka terlihat orang yang kurindukan sudah berada di depanku. ‘Wah, panjang umur ini orang baru saja diomongin langsung dateng. Lihatlah, Sayang. Ayah kamu dateng.’ Eh, tapi kenapa penampilannya terlihat kacau dengan muka kusut serta kemeja yang sudah digulung hingga siku.

Dion menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan mata terpejam, gurat kelelahan tergambar jelas di wajahnya. Sebentar, hari ini kan weekend, tapi kenapa dia memakai pakaian kerja.

“Kenapa tuh muka? Lecek bener kek baju belum disetrika,” candaku mencoba mencairkan suasana karena Dion sejak tadi hanya diam.

“Capek gue, hampir dua minggu lembur terus. Ini juga weekend gue ketemu klien buat ngomongin proyek terakhir gue,” sahutnya masih dengan mata terpejam.
Apa tadi dia bilang. Proyek terakhir.

“Maksud, lo?” tanyaku bingung.

Dion mengembuskan napas pelan. Kemudian duduk di depanku. “Gue resign, udah dari dua minggu lalu sih. Cuma sama big bos suruh ngelarin proyek yang lagi gue pegang dulu.”

Aku cukup terkejut mendengar pengakuannya, selama ini dia tidak pernah mengeluh akan pekerjaannya. Karena memang pekerjaannya saat ini sesuai dengan passionnya, dia bekerja sebagai arsitek di sebuah perusahaan kontruksi yang cukup besar, seperti yang yang dia inginkan.

“Kok resign? Bukannya waktu itu lo cerita kalau mau dapet promosi?”

“Iya, tapi perusahaan Bokap lebih butuhin gue. Mungkin memang udah saatnya gue bantuin Papa,” sahutnya pelan. “Maaf gue belum sempet cerita, sebenernya cabang perusahaan Bokap yang di Surabaya lagi bermasalah. Kemaren kemaren Bang Dika yang handle, tapi Bang Dika gak bisa stay di sana lagi soalnya Kak Shinta lagi hamil tua sebentar lagi lahiran. Tau sendiri anak mereka kan cucu pertama dari kedua keluarga jadi gak bakalan diizinin lahiran di sana. Ya, mau gak mau gue yang harus stay di sana. Gue tau gimana dulu bokap berjuang buat ngebangun perusahaan dari nol, dan gue gak pengen apa yang udah susah payah dibangun hancur gitu aja,” ungkapnya dengan mata yang memerah, mungkin dia mengingat perjuangan orang tuanya dulu.

Aku lebih memilih diam mendengarkan ceritanya tanpa menyela. Sekarang pikiranku yang mulai berkecamuk, tadinya aku sudah berniat akan jujur ke Dion saat kami bertemu, tapi kalau keadaannya seperti ini aku akan mengurungkan niatku dan entah sampai kapan menyembunyikan semuanya.

“Lo udah makan belum, Nin? Gue laper, enakan makan di luar apa delivery ya? Delivery aja deh,” ucapnya setelah kami cukup lama terdiam dengan pikiran masing-masing.

“Serah lo, lah. Nanya sendiri, dijawab sendiri. Dasar,” sahutku sambil beranjak dari sofa.

“Lo mau kemana? Kok malah pergi?”

“Mandi. Mau ngikut lo?”

“Boleh?” tanyanya sambil terkekeh.

“Sinting,” sahutku sambil berlalu meninggalkannya.

“Lo mau dipesenin apa?” teriaknya saat aku sudah memasuki kamar.

“Terserah yang penting bikin kenyang!” sahutku tak kalah kencang.

Ya, begitulah Dion. Sikapnya susah ditebak suka menyimpan masalahnya sendirian. Bukan hanya itu, moodnya pun cepat berubah-ubah seperti tadi datang dengan muka kusut seperti orang kehilangan semangat hidup dan dalam waktu tak sampai satu jam sudah bisa menggodaku dengan tingkah tengilnya itu.

**

“Betewe, lo berangkat ke Surabaya kapan?” tanyaku mencoba memecah keheningan. Karena sejak selesai makan malam Dion sibuk dengan laptopnya, sedangkan aku lebih memilih berselancar di media sosialku sambil tiduran di karpet.

“Besok malem,” sahutnya santai.

“Harus besok malem banget ya? Entar kalau lo udah stay di sana kita gak ketemu dong,” ujarku pelan.

Dion menoleh menatapku, dia tersenyum tipis. “Jakarta Surabaya deket, Nin. Lagian orang tua gue juga di sini, gue bakal sering bolak balik ke sini juga. Lo takut kangen ya kalau gak ketemu gue,” godanya dengan menaikturunkan alis tebalnya itu.

“Ya iyalah, gue pasti kangen ditraktir makan sama lo, morotin lo kalau habis gajian. Entar gak ada yang bisa gue ajak jalan kalau lagi badmood. Ah, kenapa sih lo harus pindah,” keluhku yang hanya ditanggapi Dion dengan tertawa.

“Dasar,” ujar Dion seraya mengacak rambutku pelan. Dan perlakuan kecil seperti ini yang sering membuatku meleleh. Ya ampun bucin banget kan aku. “Eh, tapi entar kalau gak ada gue lo kan bisa ngajakin gebetan lo, hehehe.”

“Gebetan yang mana?”

“Emang gebetan lo ada berapa, Nin?” Dia balik bertanya.

“Gue gak ngerasa punya gebetan tuh,” ketusku.

“Terus sama si Bagas itu apa. Sering dianter pulang, sering jalan bareng.”

“Cuma temenan doang.”

“Yakin?” tanyanya dengan nada menggoda.

“Yakin, Dion. Ih lu mah ngeselin,” kesalku kemudian aku kembali menyibukkan diri dengan ponsel yang sedang kupegang, tanpa mempedulikan ocehan Dion. Asal kamu tau Dion, aku cintanya sama kamu bukan Bagas.
Tak berapa lama Dion menutup laptopnya, mungkin pekerjaannya sudah selesai.

“Jalan yuk, Nin. Mumpung masih jam sembilan,” ajak Dion setelah dia merapikan kertas-kertas pekerjaannya yang berserakan di meja.

“Males, ah. Capek gue, nonton netflix aja deh,” tawarku yang diiyakan oleh Dion.

“Mau nonton apa?” tanya Dion saat dia sudah duduk di sebelahku.

“Terserah, lo yang pilih. Anggep aja ini hadiah soalnya besok-besok lo udah gak bisa nonton bareng gue lagi,”sahutku sambil terkekeh. Kemudian aku beranjak ke dapur untuk mengambil minum dan juga cemilan.

Malam ini kami menghabiskan waktu dengan menonton bersama sampai larut malam, hingga tanpa kusadari aku tertidur di depan televisi. Dalam mimpiku aku merasakan ada seseorang yang mencium keningku lembut kemudian memelukku erat seakan orang ini takut tak akan ada kesempatan lagi untuk melakukan ini. Entahlah, aku merasakan kenyamanan di dalam dekapan hangat ini. Walau hanya sekedar mimpi, tapi rasanya seperti nyata.

Mau double up gak? Kalau mau tinggalin komen ya. Kalau banyak yang komen nanti sore aku up ending dari cerita ini, hehehe.

Thank's you gaeees buat kalian yang masih mau mampir ke lapakku ini, meskipun sempet berbulan-bulan gantung kek hubungan kamu sama dia, eh, hahaha✌✌

See you on next part🤗🤗

ANINDHITA STORY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang