Sekali lagi aku mematut diri di cermin. Memperhatikan pakaian yang sedang kukenakan. Dengan atasan blouse berwarna kuning motif bunga kecil-kecil, kupadukan dengan celana jeans hitam, serta sepatu slip on warna cream. Menurutku sudah cukup kasual, untuk acara yang belum jelas tujuannya.Aku segera keluar setelah memoles blush on serta lipcream tipis agar wajah terlihat segar. Tak lupa menyambar tas berwarna cream yang sudah kusiapkan sejak tadi.
Dengan langkah cepat aku menuruni tangga. Gak enak juga kalau bikin Mas Bagas nunggu lama. Saat sampai di bawah kulihat dia sedang berbincang sama Bi Inah. Ya, mereka sudah kenal soalnya dulu Mas Bagas lumayan sering datang ke rumah.
“Maaf ya lama,” sapaku saat sudah di dekatnya.
“Gak kok. Baru juga dateng, lagian ditemenin Bi Inah jadi gak berasa lama. Iya gak, Bi?” sahutnya sambil tertawa kecil.
“Iya, seneng bisa ketemu lagi ma Den Bagas. Habisnya udah lama banget gak ke sini,” kekeh Bi Inah menyahuti pertanyaan Mas Bagas.
“Bagas juga seneng bisa ketemu sama Bibi,” ucap Mas Bagas dengan senyum manisnya. Memang dulu Mas Bagas cukup akrab dengan Bi Inah karena setiap ke rumah lebih sering bertemu dengan Bi Inah daripada orang tuaku.
“Kita ke luar dulu ya, Bi. Takut keburu malem,” pamitku setelah obrolan mereka selesai.
“Iya hati-hati,” pesan Bi Inah sebelum kami pergi.
“Kita mau ke mana?” tanya Mas Bagas setelah kami berada di dalam mobil.
“Terserah pak sopir aja aku mah,hehehe.”
“Oke kalau gitu, tapi dilarang protes ya,” ucapnya sambil menyalakan mobil.
“Asal gak dibawa ke hutan aja,” candaku.
Dia hanya tertawa menanggapi candaanku. Untung sore ini jalanan lumayan lancar hingga kami tak harus terjebak di tengah kemacetan.
**
Di sinilah aku sekarang di kota tua atau yang lebih di kenal dengan nama Fatahillah. Suasana malam ini cukup ramai. Banyak muda mudi yang sedang nongkrong bersama teman-temannya. Tak sedikit pula terlihat keluarga kecil bersama dengan anak-anaknya.
Melihat tingkah anak-anak kecil itu membuatku terhibur. Terlihat senyum ceria di wajah-wajah mereka yang tanpa beban.
Dulu aku sering datang ke sini, tapi setahun terakhir sudah jarang karena pekerjaanku cukup menyita waktu. Dan setiap weekend aku lebih memilih menghabiskan waktu bersama Mama.
“Udah lama banget gak ke sini sama kamu. Udah berapa tahun ya?” Pertanyaan Mas Bagas membuyarkan lamunanku.
Dia sudah duduk di sebelahku dengan membawa kerak telur. Tadi setelah sampai dia lebih memilih memesan kerak telur. Katanya udah kangen makan kerak telur di sini. Memang setauku dia dulu selalu memesan kerak telur saat pergi ke sini.
“Lima tahun mungkin, ya?” Aku balik bertanya.
Dia memberikan kerak telur kepadaku. “Iya, kayaknya. Pokoknya pas awal-awal aku ngerjain skripsi kalau gak salah.”
“Iya, aku masih inget hampir dua jam dikacangin di sini. Mas Bagas sama Mas Rino malah sibuk ngerjain skripsi.” Aku menerima kerak telur itu dan mulai meniupnya agar panasnya segera hilang.
“Masih inget ternyata,” ujarnya terkekeh.
“Masihlah. Betewe Mas Rino gimana kabarnya? Cowok yang super tengil plus ngeselin, hehehe.”
“Udah nikah dia. Udah jadi bos sekarang,” sahut Mas Bagas sambil tertawa.
“Wow keren dong. Kalau inget lucu kalian kan dulu digosipin gay. Soalnya nempel mulu,” kekehku masih sambil meniup kerak telur yang masih panas.
Dia tertawa lebar. “Untung dulu deket sama kamu. Jadi bisa matahin anggapan mereka.”
“Tapi akunya risih, orang-orang di kampus ngelihat aku kayak kucing ngelihat tikus,” keluhku.
“Ya, mereka pada iri kamu dikelilingi cowok-cowok ganteng.” Dia masih tertawa.
Kalau dipikir ada benarnya juga. Aku cewek biasa saja dikelilingi senior-senior ganteng seperti Mas Bagas dan Mas Rino. Belum lagi Dion selalu nempel terus. Walaupun dulu Dion masih junior, tapi udah banyak yang naksir dia. Bukan hanya anak-anak seangkatan, tetapi banyak juga senior yang naksir sama dia.
Hampir dua jam aku dan Mas Bagas menghabiskan waktu di sini. Kita seperti bernostalgia mengenang masa-masa yang sudah lalu. Juga berbagi cerita tentang kehidupan yang sekarang. Saling menertawakan saat ada yang kita anggap lucu.
**
Waktu sudah pukul sepuluh malam saat kami sampai di depan rumahku. Tadi setelah dari kota tua, kita makan malam dulu, dan juga terjebak macet hingga menghabiskan waktu yang cukup lama di jalan. Mungkin karena ini malam minggu hingga kemacetan di mana-mana.
“Aku mampir dulu gak nih?” tanya Mas Bagas saat aku akan keluar dari mobil.
“Gak usah juga gapapa, Mas. Udah malem juga.”
“Serius? Ya udah kalau gitu salam buat Tante ya.”
“Iya, hati-hati di jalan,” pesanku sambil tersenyum.
Mas Bagas juga tersenyum lembut. “Makasih ya buat malam ini.”
“Harusnya aku yang makasih udah diajakin jalan,” kekehku pelan.
“Kalau gitu makasihnya sama-sama, hehehe.”
Dan kamipun tertawa karena obrolan tidak jelas ini. Makasih Mas udah ngajak aku jalan, udah menghiburku, membuat suasana hatiku lebih baik dari hari-hari berat yang akhir-akhir ini kujalani, ucapku dalam hati.
Aku baru masuk ke rumah setelah mobil Mas Bagas sudah pergi cukup jauh.
“Cie ya habis jalan sama cowok ganteng. Bau-baunya ada cinta lama belum kelar nih,” ledek Mama saat aku baru memasuki rumah. Pasti nih Bi Inah yang ngasih tau.
“Mama apaan sih. Ada-ada aja,” sanggahku saat sudah duduk di sebelah Mama.
“Kok itu senyum malu-malu, kayaknya hilal Mama dapet calon mantu udah dekat nih.” Mama masih saja meledekku.
“Tau ah. Anin capek mau tidur,” kesalku lalu meninggalkan Mama menonton TV sendirian.
Mama hanya tertawa menghadapi tingkahku. Untung tadi Mas Bagas gak mampir. Coba kalau mampir pasti malu banget aku kalau diledekin terus sama Mama. Apalagi Mama tau dulu kita pernah deket , pasti bakal iseng tanya yang aneh-aneh.
19 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHITA STORY (TAMAT)
ChickLit[Selesai] Gimana sih rasanya sahabat yang sudah menemani lebih dari setengah umurmu dan yang paling kamu percaya, ternyata tanpa sengaja menghancurkan hidupmu? Sedih? Pasti. Sakit? Jelas. Benci? Harusnya begitu, tapi kalau dia juga adalah laki-laki...